FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENURUNAN MUTU IKAN
By. Rina Tupan
1.
PRINSIP PENANGANAN HASIL PERIKANAN
Produk perikanan adalah produk pangan yang mudah mengalami pembusukan
akibat dari faktor eksternal dan internal dari bahan pangan itu sendiri,
sehingga diperlukan suatu bentuk penanganan yang maksimal sehingga mutu yang
diterima oleh konsumen tetap terjaga.
Penanganan hasil perikanan memiliki prinsip yaitu melakukan penanganan
secara cepat, tepat waktu dan selalu dalam rantai dingin.
2.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUTU IKAN
Faktor-faktor
yang mempengaruhi mutu produk perikanan sangat banyak jenis dan jumlahnya.
2.1 Dampak dari Spesies
Disemua masyarakat, spesies ikan
tertentu sangat digemari dan karenanya memiliki tingkat permintaan yang lebih
tinggi dan harga yang lebih mahal dari yang spesies lainnya. Sejarah
menunjukkan bahwa perilaku berubah dengan sangat perlahan sehingga preferensi
semacam ini tetap ada. Preferensi pribadi biasanya dipengaruhi oleh penampilan,
rasa, adanya duri-duri kecil, tabu agama, dan kebiasaan masyarakat. Spesies
ikan tertentu disukai di satu belahan dunia, tetapi tidak disukai dibelahan
dunia lainnya. Sotong, misalnya, memiliki harga yang sangat tinggi sebagai
makanan di belahan Timur, tetapi di banyak tempat di Amerika Serikat, sotong
dianggap berguna sebagai umpan dan sedikit yang digunakan untuk hal lain.
Tingkat pembusukan atau kerusakan
bergantung pada spesies. Sudah menjadi fakta yang diketahui secara luas bahwa,
ketika didinginkan atau dibekukan, spesies-spesies berlemak seperti ikan sarden
dan makerel akan membusuk lebih cepat daripada
spesies-spesies tak berlemak seperti ikan kod. Selain itu, kod utuh akan
lebih cepat membusuk daripada spesies-spesies tertentu lainnya seperti halibut
dan flounder.
2.2. Kandungan lemak ikan
Kandungan lemak ikan laut dapat sangat
berbeda-beda sepanjang tahun. Perbedaan komposisi dalam satu spesies dapat
menjadi penyebab adanya pengaruh sekunder dalam hal kualitas. Ketika disimpan
di tempat pendingin, ikan tak berlemak dalam kondisi yang buruk jauh lebih
cepat membusuk daripada spesimen-spesimen spesies yang sama dalam kondisi baik.
Hal ini dapat dijelaskan dengan kandungan glikogen dalam daging. Pada ikan tak
berlemak berkualitas rendah, kandungan glikogen yang rendah menyebabkan
peningkatan yang setara dalam pH daging. Segera setelah mati, glikogen dalam
daging diubah menjadi asam laktat yang menentukan pH daging. Bakteri-bakteri
yang menyebabkan pembusukan lebih aktif dalam daging dengan kadar pH lebih
tinggi. pH daging yang rendah juga memiliki dampak yang tidak diinginkan pada
kualitas ikan. “Kepucatan” adalah suatu keadaan yang berkembang pada bagian
ikan mentah yang dipotong dari ikan yang telah disimpan di es untuk waktu yang
lama. Daging ikan terlihat putih dan pucat, seperti ikan yang sudah dimasak.
Kondisi tersebut berkembang pada ikan yang pH dagingnya jauh di bawah nilai 6,0
setelah ikan mati. Spesies-spesies ikan yang ditangkap di perairan bersuhu
hangat tersebut disimpan lebih lama dalam es daripada ikan-ikan yang ditangkap
di perairan yang bersuhu lebih dingin. Namun, alasan untuk hal tersebut, lebih
berhubungan dengan flora bakteri yang tumbuh pada permukaan ikan daripada ikan
itu sendiri.
Bakteri yang berkembang pada permukaan
spesies air dingin bersifat psychophillic, yang berarti bahwa mereka
lebih tahan terhadap suhu rendah dan mampu menghasilkan perubahan rasa dan bau
pada suhu rendah. Bakteri pada ikan dari perairan bersuhu hangat tidak tahan
terhadap suhu dingin.
Efek spesies lainnya berkaitan dengan
rute migrasi. Spesies-spesies yang bermigrasi pada jarak jauh sebelum ditangkap
kemungkinan besar tidak akan berada dalam kondisi fisik yang baik seperti
spesies-spesies atau anggota-anggota dari spesies sama yang mengikuti rute yang
lebih pendek.
2.3. Efek Ukuran
Pada umumnya, ikan besar dari suatu
spesies tertentu dijual dengan harga yang lebih tinggi. Konsumen siap untuk
membayar lebih untuk udang besar, kepiting, lobster, atau potongan bagian dari
ikan besar karena mereka lebih memuaskan secara tampilan dan dari segi tata
boga. Namun tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ikan yang lebih besar dari
suatu spesies tertentu memiliki rasa yang lebih baik daripada angota-anggota
spesies tersebut yang lebih kecil. Pengolah membayar lebih untuk spesimen yang
lebih besar karena persentase bagian yang dapat dimakan lebih tinggi, biaya
penanganan per unit beratnya berkurang, lebih tahan lama dalam penyimpanan, dan
lebih banyak produk masal yang dapat dibuat dari specimen tersebut. Merupakan
suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa ikan besar lebih tahan lama dalam
penyimpanan daripada ikan kecil. Salah satu dari mekanisme pembusukan utama
adalah penetrasi mikroorganisme dari permukaan ke bagian dalam ikan. Ikan yang
lebih besar memiliki rasio lebih kecil antara permukaan terhadap volume
sehingga pada periode waktu yang sama, sehingga lebih sedikit dari bagian dalam
ikan berukuran lebih besar yang terkena dampaknya. Selain itu, isi perut ikan
besar seperti kod, tuna dan salmon umumnya dikeluarkan di atas kapal penangkap
ikan. Spesies-spesies yang terlalu kecil atau terlalu banyak untuk dikeluarkan isi
perutnya di atas kapal mungkin hanya disimpan utuh. Pengeluaran isi perut ikan
di atas kapal memiliki dua keuntungan (i) membuang isi perut secara signifikan
mengurangi degradasi yang disebabkan oleh aktivitas enzim dan mikroba yang
biasanya berlangsung dalam usus dan perut, dan (ii) lebih sedikit penanganan
ikan yang diperlukan setelah ikan tersebut mencapai pantai. Ikan-ikan tersebut
dapat ditempatkan di dalam lemari pendingin segera setelah isi perutnya
dikeluarkan dan tidak perlu dipindahkan dari lemari pendingin untuk pengeluaran
isi perut selanjutnya.
Efek ukuran lainnya adalah pada pH
daging. Ikan kecil dari suatu spesies tertentu cenderung memiliki pH pasca
kekakuan yang lebih tinggi daripada ikan dari spesies yang sama yang berukuran
lebih besar, sehingga menyebabkan aktivitas bakteri yang lebih besar.
2.4. Jarak ke
Pelabuhan
Seberapa cepat ikan dikeluarkan isi
perutnya dan ditempatkan ke dalam lemari pendingin mungkin berkaitan dengan
jarak yang harus ditempuh kapal dari pelabuhan asal ke tempat penangkapan ikan.
Pengeluaran isi perut umumnya berlangsung dengan cepat di atas kapal-kapal
buatan pabrik yang menempuh jarak jauh dari pelabuhan dan dapat berada di atas
laut selama beberapa minggu sekaligus.
Namun di atas kapal-kapal yang lebih kecil
yang tidak memiliki kapasitas untuk pengeluaran isi perut yang baik dan
penyimpanan setelahnya, ikan-ikan hanya dimuat dalam keadaan utuh sampai kapal
tersebut mencapai pelabuhan. Seringkali, periode waktu tersebut dapat
berlangsung beberapa hari sehingga memberikan waktu yang cukup banyak bagi
bakteri dan enzim dalam usus untuk bekerja.
Persoalan jarak dari tempat
penangkapan ikan ke pelabuhan lebih nyata pada wilayah-wilayah tropis dan
subtropis dibanding pada iklim yang lebih dingin. Suhu udara yang lebih panas
meningkatkan tingkat penurunan kualitas, khususnya apabila hasil tangkapan
ditumpuk di atas geladak dengan sedikit atau tanpa es untuk menjaganya tetap
dingin. Sengatan sinar matahari dengan cepat menjadikan ikan terlalu panas dan
mempercepat perubahan pasca kematian. Tingkat di mana perubahan terjadi
bergantung pada rentang waktu penyimpanan dengan cara ini, suhu, dan spesies
tersebut.
2. 5. Tempat
Penangkapan Ikan
Lokasi tempat penangkapan ikan
memiliki peran tidak langsung pada kualitas produk perikanan. Dalam suatu
spesies, rasa mungkin berbeda dari satu tempat penangkapan ikan dengan tempat
penangkapan ikan berikutnya dan juga mungkin berbeda dari satu musim ke musim
berikutnya, bergantung pada sifat makanannya dan kondisi fisiologis spesies
yang bersangkutan. Tidak dipilihnya tempat penangkapan ikan tertentu pada
berbagai waktu pada sepanjang tahun dapat menghindarkan banyak masalah. Angin,
gelombang, kondisi air, dan pola migrasi juga berpengaruh pada kondisi dan
kualitas ikan sebelum panen. Faktor-faktor tersebut berpengaruh pada jenis dan
kelimpahan organisme makanan yang tersedia, yang dapat mempengaruhi kesehatan
dan kondisi ikan.
2.6. Efek Jenis
Kelamin dan Proses Bertelur
Untuk tujuan-tujuan tertentu, jantan
dan betina dari spesies yang sama dapat memiliki nilai yang berbeda. Bahkan
telur dari beberapa ikan tertentu dapat dinilai sebagai suatu komoditas dan
ikan-ikan tersebut dihargai hanya karena alas an tersebut.
Jenis kelamin memainkan peranan besar
dalam kualitas segera setelah proses bertelur. Betina dari spesies tertentu
dapat berada dalam kondisi fisik yang buruk segera setelah bertelur yang
memiliki kualitas yang sangat rendah. Akan tetapi, dalam beberapa spesies
seperti salmon, kedua jenis kelamin dapat berada dalam kondisi buruk setelah
proses bertelur. Tepat sebelum dan selama proses bertelur, cadangan makanan
dalam daging dialihkan untuk perkembangan kelenjar kelamin. Selama proses
bertelur, dan untuk beberapa periode setelahnya, sebagian besar ikan tidak
makan. Akibatnya adalah daging mereka menjadi kehabisan lemak, protein, dan
karbohidrat, dan ikan-ikan tersebut berada dalam kondisi buruk. Begitu
ikan-ikan tersebut kembali makan, mereka biasanya memulihkan kondisi makanan
mereka kecuali mereka telah menjadi terlalu lemah selama proses bertelur.
Bahkan pada spesies laut dan berlemak
seperti sarden, haring, dan makerel, perubahan kualitas yang disebabkan proses
bertelur terlihat lebih nyata. Antara periode tidak makan setelah proses
bertelur dan dilanjutkannya pemberian makan, kandungan lemak ikan haring dapat
beragam mulai kurang dari 1% sampai lebih dari 25%. Selama perubahan dalam
kandungan lemak tersebut, berat ikan secara keseluruhan terjaga cukup konstan
oleh penurunan yang setara dalam kandungan air.
Karena kandungan lemak yang tinggi dalam spesies-spesies ini diperlukan
untuk pengalengan dan pengasapan, ikan dalam kondisi pasca proses bertelur
seringkali tidak dikehendaki untuk proses-proses tersebut. Perubahan dalam
komposisi daging sebagai akibat dari aktivitas bertelur terlihat jelas pada
semua spesies, walaupun kurang terlihat dalam beberapa kerang dimana perubahan
kandungan glikogen terlihat nyata.
2.7. Ikan yang Secara Alami Beracun
Sebagian besar makanan dari ikan aman
untuk dimakan, namun ada spesies-spesies yang secara alami beracun, baik
seluruhnya atau sebagian, dan dapat menyebabkan penyakit atau kematian apabila
dimakan. Sebagian besar ikan beracun ditangkap di wilayah-wilayah tropis atau
subtropis di dunia, dan hanya dalam wilayah-wilayah tersebut tindakan
pengendalian, apabila ada, harus diterapkan. Ikan yang secara alami beracun
disebut sebagai “biotoksin” yang
berlawanan dengan ikan dan kerang yang dapat menjadi beracun melalui
kontaminasi bahan kimia atau polutan. Terdapat tiga jenis racun utama pada ikan
atau kerang: ciguatera, keracunan ikan buntal, dan keracunan ubur-ubur
yang menyebabkan kelumpuhan.
PENYEBAB
KEBUSUKAN IKAN
1. Pembusukan Mikroba
Dengan bantuan aktivitas enzim,
pembusukan mikroba sejauh ini merupakan cara utama pembusukan pada ikan-ikan
dan kerang-kerangan yang didinginkan. Ada beberapa jenis mikroorganisme yang
dapat menyebabkan pembusukan, namun salah satu mikroorganisme yang menjadi
perhatian utama adalah bakteri. Sebagian besar bakteri biasanya terdapat pada
lendir permukaan, pada insang, dan usus ikan yang masih hidup. Bakteri tersebut
biasanya tidak berbahaya bagi ikan-ikan yang sehat dan hidup karena pertahanan
alami ikan-ikan tersebut menjauhkan mereka dari bahaya, namun segera setelah
mati, bakteri dan enzim yang dikeluarkan oleh ikan-ikan tersebut mulai
menyerang jaringan sepanjang kulit, dan sepanjang lapisan rongga perut. Bakteri
juga memasuki daging melalui setiap tusukan atau luka yang terbuka. Hal
tersebut merupakan satu alasan mengapa sangat penting bahwa ikan ditangani
dengan hati-hati di atas kapal penangkap ikan dan tidak ditusuk atau ditangani
dengan garpu rumput atau alat tajam lainnya yang dapat menusuk daging ikan
tersebut.
Bakteri mengeluarkan getah pencernaan,
enzim yang merusak dan menghancurkan jaringan yang diserang oleh bakteri
tersebut. Bakteri pada daging menyebabkan perubahan bau dan rasa yang pada
mulanya terasa “masam”, “beraroma seperti rumput”, atau “asam”. Bau dan rasa
ini dapat secara bertahap berubah menjadi “pahit” atau “sulfida” dan dapat
berubah menjadi amonia pada tahap-tahap akhirnya.
Selain perubahan bau dan rasa, bakteri
menyebabkan perubahan tampilan dan cirri fisik ikan. Lendir pada kulit dan
insang dapat berubah dari yang biasanya tampak jernih dan berair menjadi keruh
dan kehitaman. Warna kulit ikan hilang dan menjadi tampak pucat dan pudar.
Lapisan perut menjadi pucat dan hampir lepas dari dinding bagian dalam tubuh.
Flora bakteri pada ikan dipengaruhi
oleh sejumlah faktor seperti musim dan lingkungan. Spesies ikan berbeda yang
ditangkap pada lokasi yang sama selama musim yang sama memiliki flora bakteri
yang sama, namun ikan dari spesies sama yang ditangkap di lingkungan yang
berbeda terkadang memiliki flora yang sangat beragam. Flora yang terdapat pada
ikan mencerminkan flora di perairan di mana ikan tersebut ditangkap.
Pembusukan bakteri pada ikan tidak
dimulai sampai dimulainya kaku otot setelah ikan mati ketika enzim dikeluarkan
dari serat daging. Oleh karena itu kekakuan yang lambat akan memperpanjang
waktu penyimpanan ikan. Kekakuan otot dipercepat oleh perlawanan yang dilakukan
oleh ikan, kurangnya oksigen, dan suhu yang lebih tinggi. pH rendah dan
pendinginan yang tepat akan memperlambat mulainya kekakuan otot. pH daging ikan
juga penting karena semakin rendah pH, semakin lambat pula proses penguraian
bakteri. pH daging ikan menurun karena konversi glikogen daging menjadi asam
laktat.
Ikan dapat membusuk baik dari
permukaan bagian dalam maupun luarnya. Permukaan dalam paling sering menjadi
tempat masuknya bakteri adalah insang. Insang bersifat lunak dan lembab,
menjadi tempat yang ideal bagi bakteri untuk tumbuh. Di sini bakteri tumbuh
dengan cepat yang menyebabkan perubahan bau dan perubahan warna. Kondisi insang
sering digunakan sebagai indikator dari tahap pembusukan ikan. Insang yang
berubah warna dan berlendir merupakan indikasi buruknya kualitas ikan. Dari
insang, bakteri melewati sistem pembuluh darah, melewati ginjal, dan masuk ke
dalam daging.
Bakteri pada permukaan luar ikan
berada di dekat bagian-bagian yang biasanya dijadikan fillet dibanding dengan
bakteri pada usus. Oleh karena itu, daging dapat terserang bakteri permukaan
jauh sebelum bakteri masuk melalui dinding usus. Selain itu, kulit memiliki
lebih banyak wilayah kontak dengan bagian yang difillet dibandingkan dengan
dinding usus. Jumlah bakteri dalam lendir dan pada kulit ikan yang baru
ditangkap dapat berjumlah jutaan per sentimeter persegi. Mencuci ikan seringkali
mengurangi jumlah bakteri permukaan hingga 80 sampai 90%.
Ikan-ikan juga dapat terkontaminasi
dari luar karena didinginkan dengan menggunakan es yang tidak bersih. Es yang
tidak dicuci dapat mengandung jutaan bakteri per gram es tersebut. Ikan-ikan
juga dapat terkena banyak bakteri dari geladak kapal, dari para nelayan yang
menangani mereka, dan dari kurungan-kurungan dimana ikan-ikan tersebut disimpan
dalam geladak kapal.
Mereka dapat terkena bakteri tambahan
ketika dibersihkan dari permukaan tempat kerja atau dari orang-orang yang
melakukan pembersihan tersebut.
Daging ikan mengandung banyak nitrogen
nonprotein. Enzim alami ikan menghasilkan perubahan otolisis yang meningkatkan
persediaan makanan bernitrogen, seperti amines dan asam amino, dan
glukosa untuk perkembangbiakan bakteri. Bakteri tersebut kemudian mengubah
senyawa ini menjadi trimethylamine (TMA), amonia, amines, dan
aldehida. Produk-produk akhirnya dapat berupa hidrogen sulfida dan sulfida
lainnya, mercaptans, dan indole, produk-produk yang menunjukkan
pembusukan. Pada banyak spesies laut yang mengandung senyawa trimethylamine oksida
(TMAO) yang tidak berbau, satu reaksi yang nyata adalah pengurangannya menjadi
TMA. Reaksi tersebut dicirikan dengan adanya bau seperti amonia, namun dalam
kombinasi dengan senyawa lainnya dapat menimbulkan bau “amis”. Pengurangan
bertahap pada TMAO dan peningkatan yang bersamaan pada TMA telah digunakan
sebagai ukuran pembusukan secara kimia pada beberapa ikan laut. Ikan air tawar
tidak mengandung TMAO, maka dari itu, digunakan ukuran kesegaran lain bagi
spesies-spesies tersebut.
2. Pembusukan Enzim
Ketika ikan masih hidup, biasanya
keseimbangan enzim terjaga dengan bantuan pencernaan sistem-sistem peredaran
darah. Enzim tersebut tetap aktif setelah matinya ikan dan terutama terlibat
dalam perubahan rasa yang berlangsung selama beberapa hari pertama penyimpanan
sebelum pembusukan bakteri menjadi nyata. Dalam waktu singkat, aktivitas enzim
juga dapat mengubah tekstur dan tampilan daging.
Ketika ditangkap atau dipanen, perut
ikan dan kerang biasanya mengandung makanan dan enzim yang kuat. Pada saat
hewan tersebut mati, enzim-enzim masuk ke dalam dinding usus dan daging
sekitarnya, memperlemah dan memperlunak mereka. Kemudian usus dan daging dapat
terserang oleh bakteri pembusuk.
Dalam industri kapal penangkap ikan,
isi perut ikan demersal seperti kod
dan flatfish biasanya dikeluarkan
sebelum dicuci dan disimpan di atas kapal, sehingga mengurangi masalah. Isi
perut ikan laut kecil, yang biasanya ditangkap dalam jumlah banyak, umumnya
tidak dikeluarkan, oleh karena itu pembusukan terjadi dengan lebih cepat.
Enzim-enzim memainkan peranan dalam
perkembangan kekakuan otot setelah kematian, yang merupakan kakunya otot secara
bertahap beberapa jam setelah kematian. Efek kaku tersebut merupakan akibat
dari pengentalan protein daging. Durasi dan intensitas kekakuan otot tergantung
pada spesies, suhu, dan kondisi ikan. Biasanya hal tersebut berlalu sebelum
bakteri menyerang daging, membuat daging menjadi lunak dan lemas. Setelah
kekakuan otot, proses mencerna sendiri (otolisis) dimulai sebagai akibat dari
aktivitas enzim. Proses mencerna sendiri berarti bahwa ikan benar-benar memakan
dirinya sendiri. Hal tersebut dapat berlangsung sangat cepat, khususnya pada
ikan berlemak yang lebih kecil yang mungkin penuh dengan makanan pada saat
penangkapan. Enzim usus khususnya sedang aktif pada saat tersebut. Suatu
fenomena yang dikenal sebagai “pecahnya perut ikan” dapat terjadi hanya dalam
beberapa jam pada beberapa ikan seperti sarden dan haring, dan disebabkan oleh
melemahnya dinding perut oleh karena proses mencerna sendiri. Tingkat proses
mencerna sendiri bergantung pada suhu dan dapat diperlambat, meskipun tidak
dapat dihentikan sepenuhnya dengan mendinginkan ikan tepat di atas titik beku.
Aktivitas enzim dapat dihentikan dengan pemanasan dan dapat dikendalikan hingga ke tingkat yang signifkan
dengan metode lainnya, sepert penggaraman, penggorengan, pengeringan dan
pengasinan.
Proses kakunya otot setelah kematian
pada ikan memiliki beberapa keterkaitan dengan penanganan dan pengolahannya.
Pada beberapa spesies, daging mereka cenderung berkontraksi di bawah tekanan,
yang menyebabkan rusaknya jaringan. Efek tersebut dapat terlihat pada ikan-ikan
yang telah ditangani dengan tidak tepat, sehingga dagingnya rusak dan hancur.
Apabila daging-daging tersebut dipotong sebelum atau selama kaku otot, mereka
akan berkontraksi dan mungkin mendapatkan tekstur elastis. Perlu ditekankan
bahwa walaupun suhu tempat penyimpanan yang rendah banyak memperlambat
mekanisme pembusukan enzim, mekanisme tersebut tidak dapat dihentikan
seluruhnya.
3. Pembusukan Kimia
Minyak dan senyawa lemak tak jenuh
(lipid) yang terkandung dalam daging ikan dan jaringan lainnya dapat mengalami
perubahan sewaktu ikan tersebut sedang disimpan, dan menghasilkan bau amis,
perubahan rasa, dan perubahan warna. Mikroorganisme dan enzim-enzimnya dapat
terlibat dalam oksidasi lemak, namun otooksidasi, kombinasi lemak dengan
oksigen lebih umum terjadi. Biasanya ikan memiliki tingkat perubahan lemak
menjadi lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dibanding dengan makanan lainnya
dan, oleh karena itu, menjadi lebih rentan terhadap oksidasi bau amis. Ketika
bau amis telah terbentuk, ikan memiliki bau dan rasa minyak biji rami atau cat.
Spesies tidak dapat disangkal
merupakan faktor paling penting dalam menentukan kadar bau amis pada ikan. Ikan
yang memiliki kandungan lemak dan air yang tinggi memiliki jangka waktu
penyimpanan beku yang relatif pendek karena kerentanan ikan terhadap oksidasi
bau amis. Tuna, makerel, haring, dan beberapa spesies salmon
masuk ke dalam kategori ini. Akan tetapi, ada spesies tertentu seperti sablefish
(Anomplopoma fimbria), yang cukup tahan terhadap oksidasi bau amis
walaupun spesies tersebut memiliki kandungan minyak yang tinggi.
Faktor-faktor lain mempengaruhi
kerentanan suatu spesies tertentu terhadap perubahan oksidasi. Bahkan dalam
spesies yang sama, ikan kecil cenderung membusuk lebih cepat daripada ikan
besar. Tampaknya hal tersebut disebabkan karena bakteri permukaan mampu
menggunakan lebih banyak pengaruhnya pada spesies yang lebih kecil. Tingkat
oksidasi juga dapat dipengaruhi oleh kondisi ikan ketika ditangkap, makanan,
musim, tempat penangkapan ikan, dan perkembangan seksual, serta teknik-teknik
yang digunakan setelah ikan ditangkap: pengeluaran darah, pengeluaran isi
perut, pendinginan, dan penyimpanan.
Warna minyak dan lemak yang secara
alami muncul pada ikan beragam mulai dari yang tidak bewarna pada ikan haring,
lalu kuning, hingga merah pada salmon. Warna dapat juga beragam pada makanan.
Minyak ikan yang mengandung lemak tak jenuh yang tinggi akan beroksidasi secara
bertahap dan berubah menjadi kuning, kecuali dilindungi dengan kuat. Ikan
haring memiliki lapisan minyak tepat di bawah kulit yang akan berubah menjadi
kuning pada kondisi penyimpanan yang buruk.
Perubahan kimia besar lainnya yang
terjadi selama penyimpanan dingin adalah hilangnya protein miofibrilar. Ketika
hal tersebut terjadi, ikan secara bertahap menjadi keras, kering dan berserat. Perubahan-perubahan
tersebut dapat lebih terlihat setelah proses memasak. Pigmen warna yang utama
pada daging ikan adalah hemoglobin dalam darah dan mioglobin dalam jaringan
sel, bagian berwarna gelap pada daging mengandung lebih banyak pigmen dari
bagian yang berwarna terang.
Darah pada ikan segar berwarna merah
terang. Warna merah dari hemoglobin berubah menjadi merah-kecoklatan dan
kemudian menjadi coklat. Baik hemoglobin dan mioglobin mengalami hal yang sama.
3. PENELITIAN DETERIORASI
Deteriorasi dapat diartikan sebagai semua
proses dan akibat yang menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas suatu
bahan / produk. Penyebab deteriorasi dapat disebabkan oleh faktor internal
(dari produk) dan faktor eksternal (lingkungan, seperti penanganan dan pengolahan).
Penelitian deteriorasi yang umumnya
digunakan dalam penentuan tingkat mutu hasil perikanan, yaitu organoleptik dan
mikrobiologi.
Pengujian
organoleptik merupakan cara pengujian dengan menggunakan indera manusia sebagai
alat utama untuk pengukuran daya penerimaan terhadap makanan. Sasaran alat
indera ini ditujukan terhadap kenampakan, bau, rasa dan konsistensi serta
beberapa faktor lain yang mungkin diperlukan oleh produk tersebut.
Mutu produk adalah suatu keadaan
dari produk perikanan yang memberikan standar kesehatan tertentu. Mutu ikan
basah umumnya diperinci pula atas mutu biologis, fisik dan lain – lain. Mutu
tersebut memiliki banyak faktor pendukung, diantaranya adalah produk perikanan
itu sendiri dan lingkungan. Mutu produk yang baik banyak dibutuhkan oleh
konsumen, karena mutu dan kesegaran ikan
mempunyai arti penting bagi semua pihak terutama dalam kegiatan ekonommi
dan kesehatan.
Pengaruh kandungan protein yang
tinggi, ikan cepat sekali mengalami proses penurunan mutu yaitu sekitar 6
sampai 7 jam. Proses penurunan mutu ini dapat disebabkan oleh faktor – faktor
yang berasal dari produk itu sendiri dan lingkungan. Secara umum penurunan mutu
ikan dari hasil perikanan disebabkan oleh aktivitas enzim (autolisis), bakteri
(bakteriologi) dan oksigen (oksidasi).
3.1.
Pengujian Organoleptik
Prosedur Kerja
Prosedur kerja ini meliputi pengambilan sampel pengujian
dan sampel organoleptik.
a.
Pengambilan Sampel
Pengujian
Pengambilan sampel dilakukan pada
Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan Tual, dimana
pengambilan sampel ini bertujuan untuk
memperoleh sampel yang baik.
Cara pengambilan
sampel harus disesuaikan dengan metode sampling baik untuk sampel yang akan diuji maupun keperluan
monitoring. Untuk pengambilan sampel
beku yang terpenting adalah menjaga sampel untuk tetap
beku.
b.
Pengujian Organoleptik
(SNI.01-2346.2006)
-
Sebelum sampel diuji sampel ikan selar beku di thawing
terlebih dahulu.
-
Kemudian lakukan pengamatan secara indrawi untuk bagian
luar (mata, warna, bau dan tekstur).
-
Setelah itu ikan difillet dan dilakukan pengamatan bagian
dalam (isi perut, warna dan daging)
-
Sambil melakukan pengamatan score sheet yang telah
disediakan diisi, sesuai hasil pengamatan terhadap sampel.
-
Pengisian score sheet dengan standar nilai tertinggi 9 dan terendah 1 .
-
Setelah melakukan pengamatan dan pengisian score sheet
lakukan perhitungan dari hasil pengamatan.
Analisis Data
Setelah data dalam score sheet dari panelis ditabulasi.
Maka nilai mutu di tentukan dengan mencari hasil rata-rata setiap panelis pada
tahap kepercayaan 95 % artinya nilai mutu rata-rata yang diperoleh mengandung
kemungkinan kesalahan hanya sebesar 5 % untuk mendapatkan seluruh nilai. Mutu
rata-ratanya dan setiap panelis pada taraf
kepercayaan 95 %. Maka diperlukan rumus sebagai berikut : P =
(X–(1,96. S/) ≤ µ ≤ (X (+
1,96. S )
Keterangan :
n = Banyaknya panelis
X = Nilai
mutu rata-rata
Xi = Nilai mutu dari panelis
S2 = Simpangan baku
1,96 = Koefisien standar mutu deviasi pada taraf 95 %
3.2. Pengujian Mikrobiologi
Pengujian ALT
(Angka Lempeng Total)/TPC (Total Plate Count)
Bakteri yang dominan terhadap terjadinya pembusukan ikan
adalah Pseudomomas, Flavobacterium, Micrococcus dan Achromabacter.
TPC (Total Plate Count) adalah metode untuk menghitung bakteri pada daging ikan
atau produk – produk perikanan. Hasil penentuan dari TPC dapat memberikan
gambaran derajat kesegaran ikan yang sedang dianalisa karena bakteri merupakan
penyebab kebusukan ikan.
Perhitungan jumlah koloni akan lebih mudah dan cepat,
jika pengenceran dilakukan secara baik dan benar. Inkubasi dilakukan pada suhu
dan waktu tertentu sesuai dengan jenis mikroba yang akan dihitung. Perhitungan
jumlah koloni dapat dilakukan dengan menggunakan “Colony Counter”.
Prosedur Pengujian Angka Lempengan Total (SNI.
01-2332.3-2006).
·
Sebanyak 25 gram contoh ditimbang secara aseptic masukkan
ke dalam wadah blender steril atau plastik stomacher. Tambahkan 225 ml larutan
butter field’s phospat buffered dan dihomogenkan selama 1 – 2 menit. Homogen ini merupakan larutan
pengenceran 10-1
·
Dengan menggunakan pipet steril, 1 ml homogenate di atas
dan masukkan ke dalam 9 ml larutan BFP untuk mendapatkan 10-2.
Siapkan pengenceran selanjutnya (10-3) dengan mengambil 1 ml contoh
dari pengenceran 10-2 ke dalam 9 ml larutan BFP pada setiap
pengenceran dilakukan pengenceran 10-4, 10-5.
·
Pipet 1 ml dari setiap pengenceran 10-1, 10-2,
dan masukkan ke dalam cawan petri steril. Lakukan secara duplo untuk setiap
pengenceran.
·
Sebanyak 12 ml – 15 ml yang sudah didinginkan, sampai
suhu 44 - 46⁰C tuang ke masing – masing cawan yang sudah terisi larutan contoh dan media
tercampur setelah agar menjadi padat. Untuk
penentuan mikroorganisme aerob.
·
Inkubasi
cawan – cawan tersebut dalam posisi terbalik dalam incubator selama48 jam ± 2
jam pada suhu 35⁰C.
·
Control tanpa contoh dilakukan dengan mencampur larutan
pengenceran dengan media PCA.
·
Setelah inkubasi, kemudian hitung cawan – cawan yang
mempunyai jumlah coloni 25 – 250 dengan perhitungan koloni “Hand Tally Counter”
koloni yang kurang dari 25 tidak bisa dihitung.
·
Catat pengenceran yang digunakan dan hitung jumlah total
koloni. Perhitungan Angka Lempeng Total, sebagai berikut :
N =
{(1 x n1) + (0,1
x n2)} x (d)
Dengan :
N = Jumlah koloni produk dinyatakan dalam koloni
per mil atau koloni per
gram.
∑C=
Jumlah koloni pada semua cawan yang dihitung.
n1 = Jumlah cawan pada pengenceran
pertama yang dihitung
n2 = Jumlah cawan pada pengenceran kedua
yang dihitung.
d =
Pengenceran pertama yang dihitung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar