Selasa, 13 Januari 2015

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENURUNAN MUTU IKAN


FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENURUNAN MUTU IKAN
By. Rina Tupan


1.    PRINSIP PENANGANAN HASIL PERIKANAN
Produk perikanan adalah produk pangan yang mudah mengalami pembusukan akibat dari faktor eksternal dan internal dari bahan pangan itu sendiri, sehingga diperlukan suatu bentuk penanganan yang maksimal sehingga mutu yang diterima oleh konsumen tetap terjaga.  Penanganan hasil perikanan memiliki prinsip yaitu melakukan penanganan secara cepat, tepat waktu dan selalu dalam rantai dingin.

2.    FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUTU IKAN
Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu produk perikanan sangat banyak jenis dan jumlahnya.
  2.1    Dampak dari Spesies
Disemua masyarakat, spesies ikan tertentu sangat digemari dan karenanya memiliki tingkat permintaan yang lebih tinggi dan harga yang lebih mahal dari yang spesies lainnya. Sejarah menunjukkan bahwa perilaku berubah dengan sangat perlahan sehingga preferensi semacam ini tetap ada. Preferensi pribadi biasanya dipengaruhi oleh penampilan, rasa, adanya duri-duri kecil, tabu agama, dan kebiasaan masyarakat. Spesies ikan tertentu disukai di satu belahan dunia, tetapi tidak disukai dibelahan dunia lainnya. Sotong, misalnya, memiliki harga yang sangat tinggi sebagai makanan di belahan Timur, tetapi di banyak tempat di Amerika Serikat, sotong dianggap berguna sebagai umpan dan sedikit yang digunakan untuk hal lain.
Tingkat pembusukan atau kerusakan bergantung pada spesies. Sudah menjadi fakta yang diketahui secara luas bahwa, ketika didinginkan atau dibekukan, spesies-spesies berlemak seperti ikan sarden dan makerel akan membusuk lebih cepat daripada  spesies-spesies tak berlemak seperti ikan kod. Selain itu, kod utuh akan lebih cepat membusuk daripada spesies-spesies tertentu lainnya seperti halibut dan flounder.

2.2.   Kandungan lemak ikan
Kandungan lemak ikan laut dapat sangat berbeda-beda sepanjang tahun. Perbedaan komposisi dalam satu spesies dapat menjadi penyebab adanya pengaruh sekunder dalam hal kualitas. Ketika disimpan di tempat pendingin, ikan tak berlemak dalam kondisi yang buruk jauh lebih cepat membusuk daripada spesimen-spesimen spesies yang sama dalam kondisi baik. Hal ini dapat dijelaskan dengan kandungan glikogen dalam daging. Pada ikan tak berlemak berkualitas rendah, kandungan glikogen yang rendah menyebabkan peningkatan yang setara dalam pH daging. Segera setelah mati, glikogen dalam daging diubah menjadi asam laktat yang menentukan pH daging. Bakteri-bakteri yang menyebabkan pembusukan lebih aktif dalam daging dengan kadar pH lebih tinggi. pH daging yang rendah juga memiliki dampak yang tidak diinginkan pada kualitas ikan. “Kepucatan” adalah suatu keadaan yang berkembang pada bagian ikan mentah yang dipotong dari ikan yang telah disimpan di es untuk waktu yang lama. Daging ikan terlihat putih dan pucat, seperti ikan yang sudah dimasak. Kondisi tersebut berkembang pada ikan yang pH dagingnya jauh di bawah nilai 6,0 setelah ikan mati. Spesies-spesies ikan yang ditangkap di perairan bersuhu hangat tersebut disimpan lebih lama dalam es daripada ikan-ikan yang ditangkap di perairan yang bersuhu lebih dingin. Namun, alasan untuk hal tersebut, lebih berhubungan dengan flora bakteri yang tumbuh pada permukaan ikan daripada ikan itu sendiri.
Bakteri yang berkembang pada permukaan spesies air dingin bersifat psychophillic, yang berarti bahwa mereka lebih tahan terhadap suhu rendah dan mampu menghasilkan perubahan rasa dan bau pada suhu rendah. Bakteri pada ikan dari perairan bersuhu hangat tidak tahan terhadap suhu dingin.
Efek spesies lainnya berkaitan dengan rute migrasi. Spesies-spesies yang bermigrasi pada jarak jauh sebelum ditangkap kemungkinan besar tidak akan berada dalam kondisi fisik yang baik seperti spesies-spesies atau anggota-anggota dari spesies sama yang mengikuti rute yang lebih pendek.

2.3.    Efek Ukuran
Pada umumnya, ikan besar dari suatu spesies tertentu dijual dengan harga yang lebih tinggi. Konsumen siap untuk membayar lebih untuk udang besar, kepiting, lobster, atau potongan bagian dari ikan besar karena mereka lebih memuaskan secara tampilan dan dari segi tata boga. Namun tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ikan yang lebih besar dari suatu spesies tertentu memiliki rasa yang lebih baik daripada angota-anggota spesies tersebut yang lebih kecil. Pengolah membayar lebih untuk spesimen yang lebih besar karena persentase bagian yang dapat dimakan lebih tinggi, biaya penanganan per unit beratnya berkurang, lebih tahan lama dalam penyimpanan, dan lebih banyak produk masal yang dapat dibuat dari specimen tersebut. Merupakan suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa ikan besar lebih tahan lama dalam penyimpanan daripada ikan kecil. Salah satu dari mekanisme pembusukan utama adalah penetrasi mikroorganisme dari permukaan ke bagian dalam ikan. Ikan yang lebih besar memiliki rasio lebih kecil antara permukaan terhadap volume sehingga pada periode waktu yang sama, sehingga lebih sedikit dari bagian dalam ikan berukuran lebih besar yang terkena dampaknya. Selain itu, isi perut ikan besar seperti kod, tuna dan salmon umumnya dikeluarkan di atas kapal penangkap ikan. Spesies-spesies yang terlalu kecil atau terlalu banyak untuk dikeluarkan isi perutnya di atas kapal mungkin hanya disimpan utuh. Pengeluaran isi perut ikan di atas kapal memiliki dua keuntungan (i) membuang isi perut secara signifikan mengurangi degradasi yang disebabkan oleh aktivitas enzim dan mikroba yang biasanya berlangsung dalam usus dan perut, dan (ii) lebih sedikit penanganan ikan yang diperlukan setelah ikan tersebut mencapai pantai. Ikan-ikan tersebut dapat ditempatkan di dalam lemari pendingin segera setelah isi perutnya dikeluarkan dan tidak perlu dipindahkan dari lemari pendingin untuk pengeluaran isi perut selanjutnya.
Efek ukuran lainnya adalah pada pH daging. Ikan kecil dari suatu spesies tertentu cenderung memiliki pH pasca kekakuan yang lebih tinggi daripada ikan dari spesies yang sama yang berukuran lebih besar, sehingga menyebabkan aktivitas bakteri yang lebih besar.

2.4.    Jarak ke Pelabuhan
Seberapa cepat ikan dikeluarkan isi perutnya dan ditempatkan ke dalam lemari pendingin mungkin berkaitan dengan jarak yang harus ditempuh kapal dari pelabuhan asal ke tempat penangkapan ikan. Pengeluaran isi perut umumnya berlangsung dengan cepat di atas kapal-kapal buatan pabrik yang menempuh jarak jauh dari pelabuhan dan dapat berada di atas laut selama beberapa minggu sekaligus.
Namun di atas kapal-kapal yang lebih kecil yang tidak memiliki kapasitas untuk pengeluaran isi perut yang baik dan penyimpanan setelahnya, ikan-ikan hanya dimuat dalam keadaan utuh sampai kapal tersebut mencapai pelabuhan. Seringkali, periode waktu tersebut dapat berlangsung beberapa hari sehingga memberikan waktu yang cukup banyak bagi bakteri dan enzim dalam usus untuk bekerja.
Persoalan jarak dari tempat penangkapan ikan ke pelabuhan lebih nyata pada wilayah-wilayah tropis dan subtropis dibanding pada iklim yang lebih dingin. Suhu udara yang lebih panas meningkatkan tingkat penurunan kualitas, khususnya apabila hasil tangkapan ditumpuk di atas geladak dengan sedikit atau tanpa es untuk menjaganya tetap dingin. Sengatan sinar matahari dengan cepat menjadikan ikan terlalu panas dan mempercepat perubahan pasca kematian. Tingkat di mana perubahan terjadi bergantung pada rentang waktu penyimpanan dengan cara ini, suhu, dan spesies tersebut.

2. 5.  Tempat Penangkapan Ikan
Lokasi tempat penangkapan ikan memiliki peran tidak langsung pada kualitas produk perikanan. Dalam suatu spesies, rasa mungkin berbeda dari satu tempat penangkapan ikan dengan tempat penangkapan ikan berikutnya dan juga mungkin berbeda dari satu musim ke musim berikutnya, bergantung pada sifat makanannya dan kondisi fisiologis spesies yang bersangkutan. Tidak dipilihnya tempat penangkapan ikan tertentu pada berbagai waktu pada sepanjang tahun dapat menghindarkan banyak masalah. Angin, gelombang, kondisi air, dan pola migrasi juga berpengaruh pada kondisi dan kualitas ikan sebelum panen. Faktor-faktor tersebut berpengaruh pada jenis dan kelimpahan organisme makanan yang tersedia, yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kondisi ikan.

2.6.   Efek Jenis Kelamin dan Proses Bertelur
Untuk tujuan-tujuan tertentu, jantan dan betina dari spesies yang sama dapat memiliki nilai yang berbeda. Bahkan telur dari beberapa ikan tertentu dapat dinilai sebagai suatu komoditas dan ikan-ikan tersebut dihargai hanya karena alas an tersebut.
Jenis kelamin memainkan peranan besar dalam kualitas segera setelah proses bertelur. Betina dari spesies tertentu dapat berada dalam kondisi fisik yang buruk segera setelah bertelur yang memiliki kualitas yang sangat rendah. Akan tetapi, dalam beberapa spesies seperti salmon, kedua jenis kelamin dapat berada dalam kondisi buruk setelah proses bertelur. Tepat sebelum dan selama proses bertelur, cadangan makanan dalam daging dialihkan untuk perkembangan kelenjar kelamin. Selama proses bertelur, dan untuk beberapa periode setelahnya, sebagian besar ikan tidak makan. Akibatnya adalah daging mereka menjadi kehabisan lemak, protein, dan karbohidrat, dan ikan-ikan tersebut berada dalam kondisi buruk. Begitu ikan-ikan tersebut kembali makan, mereka biasanya memulihkan kondisi makanan mereka kecuali mereka telah menjadi terlalu lemah selama proses bertelur.
Bahkan pada spesies laut dan berlemak seperti sarden, haring, dan makerel, perubahan kualitas yang disebabkan proses bertelur terlihat lebih nyata. Antara periode tidak makan setelah proses bertelur dan dilanjutkannya pemberian makan, kandungan lemak ikan haring dapat beragam mulai kurang dari 1% sampai lebih dari 25%. Selama perubahan dalam kandungan lemak tersebut, berat ikan secara keseluruhan terjaga cukup konstan oleh penurunan yang setara dalam kandungan air.  Karena kandungan lemak yang tinggi dalam spesies-spesies ini diperlukan untuk pengalengan dan pengasapan, ikan dalam kondisi pasca proses bertelur seringkali tidak dikehendaki untuk proses-proses tersebut. Perubahan dalam komposisi daging sebagai akibat dari aktivitas bertelur terlihat jelas pada semua spesies, walaupun kurang terlihat dalam beberapa kerang dimana perubahan kandungan glikogen terlihat nyata.

2.7.   Ikan yang Secara Alami Beracun
Sebagian besar makanan dari ikan aman untuk dimakan, namun ada spesies-spesies yang secara alami beracun, baik seluruhnya atau sebagian, dan dapat menyebabkan penyakit atau kematian apabila dimakan. Sebagian besar ikan beracun ditangkap di wilayah-wilayah tropis atau subtropis di dunia, dan hanya dalam wilayah-wilayah tersebut tindakan pengendalian, apabila ada, harus diterapkan. Ikan yang secara alami beracun disebut sebagai “biotoksin” yang berlawanan dengan ikan dan kerang yang dapat menjadi beracun melalui kontaminasi bahan kimia atau polutan. Terdapat tiga jenis racun utama pada ikan atau kerang: ciguatera, keracunan ikan buntal, dan keracunan ubur-ubur yang menyebabkan kelumpuhan.

PENYEBAB KEBUSUKAN IKAN
1.       Pembusukan Mikroba
Dengan bantuan aktivitas enzim, pembusukan mikroba sejauh ini merupakan cara utama pembusukan pada ikan-ikan dan kerang-kerangan yang didinginkan. Ada beberapa jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan pembusukan, namun salah satu mikroorganisme yang menjadi perhatian utama adalah bakteri. Sebagian besar bakteri biasanya terdapat pada lendir permukaan, pada insang, dan usus ikan yang masih hidup. Bakteri tersebut biasanya tidak berbahaya bagi ikan-ikan yang sehat dan hidup karena pertahanan alami ikan-ikan tersebut menjauhkan mereka dari bahaya, namun segera setelah mati, bakteri dan enzim yang dikeluarkan oleh ikan-ikan tersebut mulai menyerang jaringan sepanjang kulit, dan sepanjang lapisan rongga perut. Bakteri juga memasuki daging melalui setiap tusukan atau luka yang terbuka. Hal tersebut merupakan satu alasan mengapa sangat penting bahwa ikan ditangani dengan hati-hati di atas kapal penangkap ikan dan tidak ditusuk atau ditangani dengan garpu rumput atau alat tajam lainnya yang dapat menusuk daging ikan tersebut.
Bakteri mengeluarkan getah pencernaan, enzim yang merusak dan menghancurkan jaringan yang diserang oleh bakteri tersebut. Bakteri pada daging menyebabkan perubahan bau dan rasa yang pada mulanya terasa “masam”, “beraroma seperti rumput”, atau “asam”. Bau dan rasa ini dapat secara bertahap berubah menjadi “pahit” atau “sulfida” dan dapat berubah menjadi amonia pada tahap-tahap akhirnya.
Selain perubahan bau dan rasa, bakteri menyebabkan perubahan tampilan dan cirri fisik ikan. Lendir pada kulit dan insang dapat berubah dari yang biasanya tampak jernih dan berair menjadi keruh dan kehitaman. Warna kulit ikan hilang dan menjadi tampak pucat dan pudar. Lapisan perut menjadi pucat dan hampir lepas dari dinding bagian dalam tubuh.
Flora bakteri pada ikan dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti musim dan lingkungan. Spesies ikan berbeda yang ditangkap pada lokasi yang sama selama musim yang sama memiliki flora bakteri yang sama, namun ikan dari spesies sama yang ditangkap di lingkungan yang berbeda terkadang memiliki flora yang sangat beragam. Flora yang terdapat pada ikan mencerminkan flora di perairan di mana ikan tersebut ditangkap.
Pembusukan bakteri pada ikan tidak dimulai sampai dimulainya kaku otot setelah ikan mati ketika enzim dikeluarkan dari serat daging. Oleh karena itu kekakuan yang lambat akan memperpanjang waktu penyimpanan ikan. Kekakuan otot dipercepat oleh perlawanan yang dilakukan oleh ikan, kurangnya oksigen, dan suhu yang lebih tinggi. pH rendah dan pendinginan yang tepat akan memperlambat mulainya kekakuan otot. pH daging ikan juga penting karena semakin rendah pH, semakin lambat pula proses penguraian bakteri. pH daging ikan menurun karena konversi glikogen daging menjadi asam laktat.
Ikan dapat membusuk baik dari permukaan bagian dalam maupun luarnya. Permukaan dalam paling sering menjadi tempat masuknya bakteri adalah insang. Insang bersifat lunak dan lembab, menjadi tempat yang ideal bagi bakteri untuk tumbuh. Di sini bakteri tumbuh dengan cepat yang menyebabkan perubahan bau dan perubahan warna. Kondisi insang sering digunakan sebagai indikator dari tahap pembusukan ikan. Insang yang berubah warna dan berlendir merupakan indikasi buruknya kualitas ikan. Dari insang, bakteri melewati sistem pembuluh darah, melewati ginjal, dan masuk ke dalam daging.
Bakteri pada permukaan luar ikan berada di dekat bagian-bagian yang biasanya dijadikan fillet dibanding dengan bakteri pada usus. Oleh karena itu, daging dapat terserang bakteri permukaan jauh sebelum bakteri masuk melalui dinding usus. Selain itu, kulit memiliki lebih banyak wilayah kontak dengan bagian yang difillet dibandingkan dengan dinding usus. Jumlah bakteri dalam lendir dan pada kulit ikan yang baru ditangkap dapat berjumlah jutaan per sentimeter persegi. Mencuci ikan seringkali mengurangi jumlah bakteri permukaan hingga 80 sampai 90%.
Ikan-ikan juga dapat terkontaminasi dari luar karena didinginkan dengan menggunakan es yang tidak bersih. Es yang tidak dicuci dapat mengandung jutaan bakteri per gram es tersebut. Ikan-ikan juga dapat terkena banyak bakteri dari geladak kapal, dari para nelayan yang menangani mereka, dan dari kurungan-kurungan dimana ikan-ikan tersebut disimpan dalam geladak kapal.
Mereka dapat terkena bakteri tambahan ketika dibersihkan dari permukaan tempat kerja atau dari orang-orang yang melakukan pembersihan tersebut.
Daging ikan mengandung banyak nitrogen nonprotein. Enzim alami ikan menghasilkan perubahan otolisis yang meningkatkan persediaan makanan bernitrogen, seperti amines dan asam amino, dan glukosa untuk perkembangbiakan bakteri. Bakteri tersebut kemudian mengubah senyawa ini menjadi trimethylamine (TMA), amonia, amines, dan aldehida. Produk-produk akhirnya dapat berupa hidrogen sulfida dan sulfida lainnya, mercaptans, dan indole, produk-produk yang menunjukkan pembusukan. Pada banyak spesies laut yang mengandung senyawa trimethylamine oksida (TMAO) yang tidak berbau, satu reaksi yang nyata adalah pengurangannya menjadi TMA. Reaksi tersebut dicirikan dengan adanya bau seperti amonia, namun dalam kombinasi dengan senyawa lainnya dapat menimbulkan bau “amis”. Pengurangan bertahap pada TMAO dan peningkatan yang bersamaan pada TMA telah digunakan sebagai ukuran pembusukan secara kimia pada beberapa ikan laut. Ikan air tawar tidak mengandung TMAO, maka dari itu, digunakan ukuran kesegaran lain bagi spesies-spesies tersebut.

2.      Pembusukan Enzim
Ketika ikan masih hidup, biasanya keseimbangan enzim terjaga dengan bantuan pencernaan sistem-sistem peredaran darah. Enzim tersebut tetap aktif setelah matinya ikan dan terutama terlibat dalam perubahan rasa yang berlangsung selama beberapa hari pertama penyimpanan sebelum pembusukan bakteri menjadi nyata. Dalam waktu singkat, aktivitas enzim juga dapat mengubah tekstur dan tampilan daging.
Ketika ditangkap atau dipanen, perut ikan dan kerang biasanya mengandung makanan dan enzim yang kuat. Pada saat hewan tersebut mati, enzim-enzim masuk ke dalam dinding usus dan daging sekitarnya, memperlemah dan memperlunak mereka. Kemudian usus dan daging dapat terserang oleh bakteri pembusuk.
Dalam industri kapal penangkap ikan, isi perut ikan demersal seperti kod dan flatfish biasanya dikeluarkan sebelum dicuci dan disimpan di atas kapal, sehingga mengurangi masalah. Isi perut ikan laut kecil, yang biasanya ditangkap dalam jumlah banyak, umumnya tidak dikeluarkan, oleh karena itu pembusukan terjadi dengan lebih cepat.
Enzim-enzim memainkan peranan dalam perkembangan kekakuan otot setelah kematian, yang merupakan kakunya otot secara bertahap beberapa jam setelah kematian. Efek kaku tersebut merupakan akibat dari pengentalan protein daging. Durasi dan intensitas kekakuan otot tergantung pada spesies, suhu, dan kondisi ikan. Biasanya hal tersebut berlalu sebelum bakteri menyerang daging, membuat daging menjadi lunak dan lemas. Setelah kekakuan otot, proses mencerna sendiri (otolisis) dimulai sebagai akibat dari aktivitas enzim. Proses mencerna sendiri berarti bahwa ikan benar-benar memakan dirinya sendiri. Hal tersebut dapat berlangsung sangat cepat, khususnya pada ikan berlemak yang lebih kecil yang mungkin penuh dengan makanan pada saat penangkapan. Enzim usus khususnya sedang aktif pada saat tersebut. Suatu fenomena yang dikenal sebagai “pecahnya perut ikan” dapat terjadi hanya dalam beberapa jam pada beberapa ikan seperti sarden dan haring, dan disebabkan oleh melemahnya dinding perut oleh karena proses mencerna sendiri. Tingkat proses mencerna sendiri bergantung pada suhu dan dapat diperlambat, meskipun tidak dapat dihentikan sepenuhnya dengan mendinginkan ikan tepat di atas titik beku. Aktivitas enzim dapat dihentikan dengan pemanasan dan dapat  dikendalikan hingga ke tingkat yang signifkan dengan metode lainnya, sepert penggaraman, penggorengan, pengeringan dan pengasinan.
Proses kakunya otot setelah kematian pada ikan memiliki beberapa keterkaitan dengan penanganan dan pengolahannya. Pada beberapa spesies, daging mereka cenderung berkontraksi di bawah tekanan, yang menyebabkan rusaknya jaringan. Efek tersebut dapat terlihat pada ikan-ikan yang telah ditangani dengan tidak tepat, sehingga dagingnya rusak dan hancur. Apabila daging-daging tersebut dipotong sebelum atau selama kaku otot, mereka akan berkontraksi dan mungkin mendapatkan tekstur elastis. Perlu ditekankan bahwa walaupun suhu tempat penyimpanan yang rendah banyak memperlambat mekanisme pembusukan enzim, mekanisme tersebut tidak dapat dihentikan seluruhnya.

3.      Pembusukan Kimia
Minyak dan senyawa lemak tak jenuh (lipid) yang terkandung dalam daging ikan dan jaringan lainnya dapat mengalami perubahan sewaktu ikan tersebut sedang disimpan, dan menghasilkan bau amis, perubahan rasa, dan perubahan warna. Mikroorganisme dan enzim-enzimnya dapat terlibat dalam oksidasi lemak, namun otooksidasi, kombinasi lemak dengan oksigen lebih umum terjadi. Biasanya ikan memiliki tingkat perubahan lemak menjadi lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dibanding dengan makanan lainnya dan, oleh karena itu, menjadi lebih rentan terhadap oksidasi bau amis. Ketika bau amis telah terbentuk, ikan memiliki bau dan rasa minyak biji rami atau cat.
Spesies tidak dapat disangkal merupakan faktor paling penting dalam menentukan kadar bau amis pada ikan. Ikan yang memiliki kandungan lemak dan air yang tinggi memiliki jangka waktu penyimpanan beku yang relatif pendek karena kerentanan ikan terhadap oksidasi bau amis. Tuna, makerel, haring, dan beberapa spesies salmon masuk ke dalam kategori ini. Akan tetapi, ada spesies tertentu seperti sablefish (Anomplopoma fimbria), yang cukup tahan terhadap oksidasi bau amis walaupun spesies tersebut memiliki kandungan minyak yang tinggi.
Faktor-faktor lain mempengaruhi kerentanan suatu spesies tertentu terhadap perubahan oksidasi. Bahkan dalam spesies yang sama, ikan kecil cenderung membusuk lebih cepat daripada ikan besar. Tampaknya hal tersebut disebabkan karena bakteri permukaan mampu menggunakan lebih banyak pengaruhnya pada spesies yang lebih kecil. Tingkat oksidasi juga dapat dipengaruhi oleh kondisi ikan ketika ditangkap, makanan, musim, tempat penangkapan ikan, dan perkembangan seksual, serta teknik-teknik yang digunakan setelah ikan ditangkap: pengeluaran darah, pengeluaran isi perut, pendinginan, dan penyimpanan.
Warna minyak dan lemak yang secara alami muncul pada ikan beragam mulai dari yang tidak bewarna pada ikan haring, lalu kuning, hingga merah pada salmon. Warna dapat juga beragam pada makanan. Minyak ikan yang mengandung lemak tak jenuh yang tinggi akan beroksidasi secara bertahap dan berubah menjadi kuning, kecuali dilindungi dengan kuat. Ikan haring memiliki lapisan minyak tepat di bawah kulit yang akan berubah menjadi kuning pada kondisi penyimpanan yang buruk.
Perubahan kimia besar lainnya yang terjadi selama penyimpanan dingin adalah hilangnya protein miofibrilar. Ketika hal tersebut terjadi, ikan secara bertahap menjadi keras, kering dan berserat. Perubahan-perubahan tersebut dapat lebih terlihat setelah proses memasak. Pigmen warna yang utama pada daging ikan adalah hemoglobin dalam darah dan mioglobin dalam jaringan sel, bagian berwarna gelap pada daging mengandung lebih banyak pigmen dari bagian yang berwarna terang.
Darah pada ikan segar berwarna merah terang. Warna merah dari hemoglobin berubah menjadi merah-kecoklatan dan kemudian menjadi coklat. Baik hemoglobin dan mioglobin mengalami hal yang sama.


3.    PENELITIAN DETERIORASI
Deteriorasi dapat diartikan sebagai semua proses dan akibat yang menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas suatu bahan / produk. Penyebab deteriorasi dapat disebabkan oleh faktor internal (dari produk) dan faktor eksternal (lingkungan, seperti penanganan dan pengolahan).
Penelitian deteriorasi yang umumnya digunakan dalam penentuan tingkat mutu hasil perikanan, yaitu organoleptik dan mikrobiologi.
Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian dengan menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya penerimaan terhadap makanan. Sasaran alat indera ini ditujukan terhadap kenampakan, bau, rasa dan konsistensi serta beberapa faktor lain yang mungkin diperlukan oleh produk tersebut.
Mutu produk adalah suatu keadaan dari produk perikanan yang memberikan standar kesehatan tertentu. Mutu ikan basah umumnya diperinci pula atas mutu biologis, fisik dan lain – lain. Mutu tersebut memiliki banyak faktor pendukung, diantaranya adalah produk perikanan itu sendiri dan lingkungan. Mutu produk yang baik banyak dibutuhkan oleh konsumen, karena mutu dan kesegaran ikan  mempunyai arti penting bagi semua pihak terutama dalam kegiatan ekonommi dan kesehatan.
Pengaruh kandungan protein yang tinggi, ikan cepat sekali mengalami proses penurunan mutu yaitu sekitar 6 sampai 7 jam. Proses penurunan mutu ini dapat disebabkan oleh faktor – faktor yang berasal dari produk itu sendiri dan lingkungan. Secara umum penurunan mutu ikan dari hasil perikanan disebabkan oleh aktivitas enzim (autolisis), bakteri (bakteriologi) dan oksigen (oksidasi).

3.1. Pengujian Organoleptik
Prosedur Kerja
Prosedur kerja ini meliputi pengambilan sampel pengujian dan sampel organoleptik.
a.    Pengambilan Sampel Pengujian
Pengambilan sampel dilakukan pada Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan Tual, dimana pengambilan sampel ini bertujuan untuk  memperoleh sampel yang baik.
Cara  pengambilan sampel harus disesuaikan dengan metode sampling baik untuk sampel yang akan diuji maupun keperluan monitoring. Untuk  pengambilan sampel beku yang terpenting adalah menjaga sampel untuk tetap beku.
b.     Pengujian Organoleptik  (SNI.01-2346.2006)
-     Sebelum sampel diuji sampel ikan selar beku di thawing terlebih dahulu.
-     Kemudian lakukan pengamatan secara indrawi untuk bagian luar (mata, warna, bau dan tekstur).
-     Setelah itu ikan difillet dan dilakukan pengamatan bagian dalam (isi perut, warna dan daging)
-     Sambil melakukan pengamatan score sheet yang telah disediakan diisi, sesuai hasil pengamatan terhadap sampel.
-     Pengisian score sheet dengan standar nilai tertinggi  9 dan terendah  1 .
-     Setelah melakukan pengamatan dan pengisian score sheet lakukan perhitungan dari hasil pengamatan.

Analisis Data
Setelah data dalam score sheet dari panelis ditabulasi. Maka nilai mutu di tentukan dengan mencari hasil rata-rata setiap panelis pada tahap kepercayaan 95 % artinya nilai mutu rata-rata yang diperoleh mengandung kemungkinan kesalahan hanya sebesar 5 % untuk mendapatkan seluruh nilai. Mutu rata-ratanya dan setiap panelis pada taraf  kepercayaan 95 %. Maka diperlukan rumus sebagai berikut :  P = (X–(1,96. S/) ≤ µ ≤ (X (+ 1,96. S )
Keterangan :
n     =  Banyaknya panelis
X     =  Nilai mutu rata-rata
Xi       =  Nilai mutu dari panelis
S2    = Simpangan baku
1,96 = Koefisien standar mutu deviasi pada taraf 95 %


3.2. Pengujian Mikrobiologi
Pengujian ALT (Angka Lempeng Total)/TPC (Total Plate Count)
Bakteri yang dominan terhadap terjadinya pembusukan ikan adalah Pseudomomas, Flavobacterium, Micrococcus dan Achromabacter. TPC (Total Plate Count) adalah metode untuk menghitung bakteri pada daging ikan atau produk – produk perikanan. Hasil penentuan dari TPC dapat memberikan gambaran derajat kesegaran ikan yang sedang dianalisa karena bakteri merupakan penyebab kebusukan ikan.
Perhitungan jumlah koloni akan lebih mudah dan cepat, jika pengenceran dilakukan secara baik dan benar. Inkubasi dilakukan pada suhu dan waktu tertentu sesuai dengan jenis mikroba yang akan dihitung. Perhitungan jumlah koloni dapat dilakukan dengan menggunakan “Colony Counter”.
Prosedur Pengujian Angka Lempengan Total (SNI. 01-2332.3-2006).
·            Sebanyak 25 gram contoh ditimbang secara aseptic masukkan ke dalam wadah blender steril atau plastik stomacher. Tambahkan 225 ml larutan butter field’s phospat buffered dan dihomogenkan selama 1 – 2 menit. Homogen ini merupakan larutan pengenceran 10-1
·            Dengan menggunakan pipet steril, 1 ml homogenate di atas dan masukkan ke dalam 9 ml larutan BFP untuk mendapatkan 10-2. Siapkan pengenceran selanjutnya (10-3) dengan mengambil 1 ml contoh dari pengenceran 10-2 ke dalam 9 ml larutan BFP pada setiap pengenceran dilakukan pengenceran 10-4, 10-5.
·            Pipet 1 ml dari setiap pengenceran 10-1, 10-2, dan masukkan ke dalam cawan petri steril. Lakukan secara duplo untuk setiap pengenceran.
·            Sebanyak 12 ml – 15 ml yang sudah didinginkan, sampai suhu 44 - 46C tuang ke masing – masing cawan yang sudah terisi larutan contoh dan media tercampur setelah agar menjadi padat. Untuk penentuan mikroorganisme aerob.
·            Inkubasi cawan – cawan tersebut dalam posisi terbalik dalam incubator selama48 jam ± 2 jam pada suhu 35C.
·            Control tanpa contoh dilakukan dengan mencampur larutan pengenceran dengan media PCA.
·            Setelah inkubasi, kemudian hitung cawan – cawan yang mempunyai jumlah coloni 25 – 250 dengan perhitungan koloni “Hand Tally Counter” koloni yang kurang dari 25 tidak bisa dihitung.
·         Catat pengenceran yang digunakan dan hitung jumlah total koloni. Perhitungan Angka Lempeng Total, sebagai berikut :
N =                   
            {(1 x n1) + (0,1 x n2)} x (d)
Dengan :
N  =  Jumlah koloni produk dinyatakan dalam koloni per mil atau koloni  per
         gram.
∑C= Jumlah koloni pada semua cawan yang dihitung.
n1   = Jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung
n2   = Jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung.
d    = Pengenceran pertama yang dihitung.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar