BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Semua makhluk hidup sangat
bergantung pada lingkungan sekitar, demikian juga jasat renik. Makhluk –
makhluk ini tidak dapat sepenuhnya menguasai factor – faktor lingkungan,
sehingga untuk hidupnya sangat bergantung kepada lingkungan sekitar. Satu –
satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari faktor lingkungan adalah dengan
cara menyesuaikan diri (adaptasi) kepada pengaruh faktor dari luar. Penyesuaian
mikroorganisme terhadap faktor lingkungan dapat terjadi secara cepat dan ada
yang bersifat sementara, tetapi ada juga perubahan itu bersifat permanen
sehingga mempengaruhi bentuk morfologi serta sifat-sifat fisiologi secara turun
Temurun.
Kehidupan mikroba tidak hanya
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, akan tetapi juga mempengaruhi keadaan
lingkungan. Misalnya, mikroba termogenesis menimbulkan panas di dalam medium
tempat tumbuhnya. Beberapa mikroba dapat pula mengubah pH dari medium tempat
hidupnya, perubahan ini dinamakan perubahan secara kimia.
Aktivitas mikroba dipengaruhi oleh
faktor-faktor lingkungannya. Perubahan lingkungan dapat mengakibatkan perubahan
sifat morfologi dan fisiologi mikroba. Beberapa kelompok mikroba sangat
resisten terhadap perubahan faktor lingkungan. Mikroba tersebut dapat dengan
cepat menyesuaikan diri dengan kondisi baru tersebut. Faktor lingkungan
meliputi faktor-faktor abiotik (fisika dan kimia), dan faktor biotik
1.2. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah :
1.
Selaku mahasiswa, kita dapat mengetahui tentang faktor
- faktor lingkungan yang berperan dalam kehidupan mikroba dan adaptasi mikroba
terhadap kehidupan organisme.
2.
Guna memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah
“Mikrobiologi Perikanan”.
Manfaat
dari penulisan ini adalah agar mahasiswa
dapat memahami dengan baik tentang faktor lingkungan mikroba.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Faktor Abiotik
2.1.1.
Suhu
Masing-masing mikrobia memerlukan
suhu tertentu untuk hidupnya. Suhu pertumbuhan suatu mikrobia dapat di bedakan
dalam suhu minimum, optimum dan maksimum. Berdasarkan atas perbedaan suhu
pertumbuhannya dapat di bedakan mikrobia yang psikhrofil, mesofil, dan
termofil. Untuk tujuan tertentu suatu mikrobia perlu di tentukan titik kematian
termal (thermal death point) dan waktu kematian termal (thermal death time)
nya.
Daya tahan terhadap suhu itu tidak
sama bagi tiap-tiap spesies. Ada spesies yang mati setelah mengalami pemanasan
beberapa menit di dalam cairan medium pada suhu 60°C, sebaliknya, mikroba yang
membentuk spora seperti genus Bacillus dan Clostridium itu tetap
hidup setelah di panasi dengan uap 100°C atau lebih selama kira-kira setengah
jam. Untuk sterilisali, maka syaratnya untuk membunuh setiap spesies untuk
membunuh setiap spesies mikroba ialah pemanasan selama 15 menit dengan tekanan
15 pound serta suhu 121°C di dalam autoklaf.
Dalam cara menentukan daya tahan
panas suatu spesies perlu di perhatikan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Berapa tinggi suhu.
2. Berapa lama spesies itu berada di
dalam suhu tersebut.
3. Apakah pemanasan mikroba itu
dilakukan di dalam keadaan kering ataukah di dalam keadaan basah.
4. Beberapa pH dari medium tempat mikroba
itu di panasi.
5. Sifat-sifat lain dari medium tempat mikroba
itu di panasi.
Di dalam keadaan basah, maka protein
dari mikroba lebih cepat menggumpal dari pada di dalam keadaan kering, pada
temperartur yang sama. Berdasarkan ini, maka sterilisasi barang-barang gelas di
dalam oven kering itu memerlukan suhu yang lebih tinggi daripada 121° C dan
waktu yang lebih lama dari pada 15 menit. Sedikit perubahan pH menuju ke asam
atau ke basa itu sangat berpengaruh kepada pemanasan. Berhubung dengan ini,
maka buah-buahan yang masam itu lebih mudah disterilisasikan dari pada
sayur-sayur atau daging.
Untuk menentukan suhu maut bagi mikroba
orang mengambil pedoman sebagai berikut: Suhu maut (thermal death point) ialah suhu yang serendah-rendahnya yang dapat
membunuh mikroba yang berada di dalam standard medium selama 10 menit.
Ketentuan ini mencakup kelima syarat-syarat tersebut diatas. Perlu diperhatikan
kiranya, bahwa tidak semua individu dari suatu spesies itu mati bersama-sama
pada suatu suhu tertentu. Biasanya, individu yang satu lebih tahan dari pada
individu yang lain terhadap suatu pemanasan, sehingga tepat juga, bila kita
katakana adanya angka kematian pada suatu suhu (Thermal Death Rate). Sebaliknya
jika suatu standard suhu sudah ditentukan seperti pada perusahaan pengawetan
makanan atau dalam perusahaan susu, maka lamanya pemanasan merupakan faktor
yang berbeda-beda bagi tiap-tiap dapatlah kita adakan penentuan
waktu maut (thermal death rate).
Biasanya standar suhu itu diatas titik didih dan pemanasan setinggi ini perlu
bagi pemusnahan mikroba yang berspora. Umumnya mikroba lebih tahan suhu rendah
dari pada suhu tinggi. Hanya beberapa spesies neiseria mati karena pendinginan
sampai 0° C dalam kedaan basah. Mikroba patogen yang bias hidup di dalam tubuh
hewan atau manusia dapat bertahan sampai beberapa bulan pada suhu titik beku.
Pembekuan itu sebenarnya tidak
berpengaruh kepada spora, karena spora sangat sedikit mengandung air. Pembekuan
mikroba di dalam air lebih cepat membunuh mikroba daripada kalau pembekuan itu
di dalam buih-buih tidak membeku sekeras air beku. Bahwa pembekuan air itu
menyebabkan kerusakan mekanik pada mikroba mudahlah dimaklumi, tentang efek
yang lain misalnya secara kimia, kita belum tahu. Pembekuan secara
perlahan-lahan dalam suhu -16°C ( es campur garam ) lebih efektif dari pada
pembekuan secara mendadak dalam udara beku (-190° C ). Juga pembekuan secara
terputus-putus ternyata lebih efektif dari pada pembekuan secara terusmenerus.
Sebagai contoh, piaraan basil tipus mati setelah dibekukan putus-putus dalam
waktu 2 jam, sedang piaraan itu dapat bertahan beberapa minggu dalam keadaan
beku terus-menerus.
Mengenai pengaruh suhu terhadap
kegiatan fisiologi, maka seperti halnya dengan mahluk-mahluk lain,
mikrooganisme pun dapat bertahan di dalam suatu batas-batas suhu tertentu.
Batas-batas itu ialah suhu minimum dan suhu maksimum, sedang suhu yang paling
baik bagi kegiatan hidup itu disebut suhu optimum. Berdasarkan itu adalah tiga
golongan mikroba, yaitu:
1. Mikroba termofil (politermik), yaitu
mikroba yang tumbuh dengan baik sekali pada suhu setinggi 55° sampai 65°C,
meskipun mikroba ini juga dapat berbiak pada suhu lebih rendah atau lebih
tinggi dari pada itu, yaitu dengan batas-batas 40°C sampai 80°C. Golongan ini
terutama terdapat didalam sumber air panas dan tempat-tempat lain yang bersuhu
lebih tinggi dari 55°C.
2. Mikroba mesofil (mesotermik), yaitu mikroba
yang hidup baik di antara 5° dan 60°C, sedang suhu optimumnya ialah antara 25°
sampai 40°C, minimum 15°C dan maksimum di sekitar 55°C. Umumnya hidup di dalam
alat pencernaan, kadang-kadang ada juga yang dapat hidup dengan baik pada suhu
40°C atau lebih.
3. Mikroba psikrofil (oligotermik),
yaitu mikroba yang dapat hidup di antara 0° sampai 30°C, sedang suhu optimumnya
antara 10° sampai 20°C. Kebanyakan dari golongan ini tumbuh di tempat-tempat
dingin baik di daratan ataupun di lautan.
Pada tahun 1967 di Yellowstone Park di temukan mikroba yang
hidup dalam air yang panasnya 93 – 94 °C dan pada tahun 1969 berapa spesies
lagi di tempat yang sama yang juga sangat termofil. Spesies-spesies itu di
tabiskan menjadi Thermus aquaticus, Bacillus
caldolyticus, dan Bacillus caldotenax.
Dalam praktek, batas-batas antara golongan-golongan itu sukar ditentukan, juga
di antara beberapa individu di dalam satu golongan pun batas-batas suhu optimum
itu sangat berbeda-beda. Mikroba termofil agak menyulitkan pekerjaan
pasteurisasi, karena pemanasan pada pasteurisasi itu hanya sekitar 70 °C saja,
sedang pada suhu setinggi itu spora-spora tidak mati. Spora mikroba termofil
juga merepotkan perusahaan pengawetan makanan. Selama bahan makanan di dalam
kaleng itu di simpan pada suhu yang rendah, spora-spora tidak akan tumbuh
menjadi mikroba. Akan tetapi, jika suhu sampai naik sedikit, besarlah bahaya
akan rusaknya makanan itu sebagai akibat dari pertumbuhan spora-spora tersebut.
Sebaliknya, mikroba psikrofil dapat mengganggu makanan yang di simpan terlalu
lama di dalam lemari es. Golongan mikroba yang dapat hidup pada bata-batas suhu
yang sempit, misalnya, Conococcus itu hanya dapat hidup subur antara 30° dan
40°C, jadi batas antara minimum dan maksimum tidak terlampau besar, maka mikroba
semacam itu kita sebut stenotermik. Sebaliknya Escherichia coli tumbuh baik antara 8 °C sampai 46 °C, jadi beda
antara minimum dan maksimum suhu di sini ada lebih besar daripada yang di sebut
di atas, maka Escherichia coli itu termasuk golongan mikroba yang kita sebut
euritermik. Pada umumnya dapat di pastikan, bahwa suhu optimum itu lebih
mendekati suhu maksimum daripada suhu minimum.Hal ini nyata benar bagi
Gonococcus dan Escherichia coli,
keduanya mempunyai optimum suhu 37 °C. Mikroba yang dipiara di bawah suhu
minimum atau sedikit di atas suhu maksimum itu tidak segera mati, melainkan
berada di dalam keadaan “tidur” (dormancy).
Suhu berpengaruh terhadap kinerja reaksi dalam mikroorganisme. Pada suhu rendah,
semua protein mengalami sedikit perubahan bentuk, yang dianggap berasal dari
melemahnya ikatan hidrofobik yang memegang peran penting dalam penentuan
struktur tartier (berdimensi tiga). Semua tipe ikatan lain pada protein menjadi
lebih kuat bila suhu diturunkan. Pentingnya bentuk yang tepat untuk fungsi
sebenarnya protein alosterik dan untuk perakitan sendiri protein ribosomal
menjadi kedua kelas protein ini teramat peka terhadap inaktivasi dingin. Oleh
karen aitu, tidaklah mengherankan bahwa mutasi yang menaikkan suhu minimum
untuk pertumbuhan biasanya terjadi di dalam gen yang menyandikan
protein-protein ini.
Susunan lipid pada hampir semua
organisme, baik prokariota maupun eukariota, berubah-ubah menurut suhu tumbuh.
Bila suhu turun, kandungan relatif asam lemak tidak jenuh didalam lipid selular
meningkat. Ilustrasi kejadian ini pada E. coli tampak pada perubahan dalam
susunan lemak ini adalah komponen penting daripada adaptasi suhu pada mikroba.
Titik cair lipid berhubungan langsung dengan asam lemak jenuh. Akibatnya,
derajat kejenuhan asam lemak pada lipid membran menentukan derajat keadaan
cairnya pada suhu tertentu. Karena fungsi membran bergantung pada keadaan cair
komponen lipid, dapatlah dipahami bahwa pertumbuhan pada suhu rendah haruslah
diikuti dengan penambahan derajat ketidakjenuhan asam lemak.
2.1.2. pH
Mikrobia dapat tumbuh baik pada
daerah pH tertentu, misalnya untuk mikroba pada pH 6,5 – 7,5; khamir pada pH
4,0 – 4,5 sedangkan jamur dan aktinomisetes pada daerah pH yang luas. Setiap mikrobia
mempunyai pH minimum, optimum dan maksimum untuk pertumbuhanya. Berdasarkan
atas perbedaan daerah pH untuk pertumbuhanya dapat dibedakan mikrobia yang
asidofil, mesofil (neutrofil) dan alkalofil. Untuk menahan perubahan dalam
medium sering ditambahkan larutan bufer. pH optimum pertumbuhan bagi kebanyakan
mikroba antara 6,5 dan 7,5. Namun beberapa spesies dapat tumbuh dalam keaadaan
sangat masam atau sangat alkalin, bila mikroba di kultivasi di dalam suatu
medium yang mula-mula disesuaikan pH-nya misal 7 maka mungkin pH ini akan
berubah sebagai akibat adanya senyawa-senyawa asam atau basa yang dihasilkan
selama pertumbuhannya. Pergesaran pH ini dapat sedemikian besar sehingga
mengahambat pertumbuhan seterusnya organisme itu. Pergeseran pH dapat dapat
dicegah dengan menggunakan larutan penyangga dalam medium, larutan penyangga
adalah senyawa atau pasangan senyawa yang dapat menahan perubahan pH.
Tabel
1. pH minimum, optimum, dan maksimum
untuk pertumbuhan beberapa spesies mikroba
Mikroba
|
Kisaran Ph Untuk Pertumbuhan
|
||
Batas
Bawah
|
Optimum
|
Batas
Atas
|
|
Thiobacillus
|
0,5
|
2,0-3,5
|
6,0
|
Thiooxidans
|
4,0-4,5
|
5,4-6,3
|
7,0-8,0
|
Acetobacter
aceti
|
4,2
|
7,0-7,5
|
9,3
|
Staphylococcus
aureus
|
5,5
|
7,0-7,5
|
8,5
|
Azotobacter
spp
|
6,0
|
6,8
|
7,0
|
Clhorobium
limicola
|
6,0
|
7,5 – 7,8
|
9,5
|
Atas dasar daerah-daerah pH bagi
kehidupan mikroorganisme dibedakan menjadi 3 golongan besar yaitu:
-
Mikroorganisme
yang asidofilik, yaitu jasad yang dapat tumbuh pada pH antara 2,0-5,0
-
Mikroorganisme
yang mesofilik (neutrofilik), yaitu jasad yang dapat tumbuh pada pH antara
5,5-8,0
-
Mikroorganisme
yang alkalifilik, yaitu jasad yang dapat tumbuh pada pH antara 8,4-9,5
Suhu, lingkungan, gas dan pH adalah
faktor-faktor fisik utama yang harus dipertimbangkan di dalam penyediaan
kondisi optimum bagi pertumbuhan kebanyakan spesies mikroba. Beberapa kelompok mikroba
mempunyai persyaratan tambahan. Sebagai contoh, organisme fotoautotrofik
(fotosintetik) harus diberi sumber pencahayaan, karena cahaya adalah sumber
energinya. Pertumbuhan mikroba dapat dipengaruhi oleh keadaan tekanan osmotik
(tenaga atau tegangan yang terhimpun ketika air berdifusi melalui suatu
membran) atau tekanan hidrostatik (tegangan zat alir). Mikroba tertentu, yang
disebut mikroba halofilik dan dijumpai di air asin, wadah berisi garam, makanan
yang diasin, air laut, dan danau air asin, hanya tumbuh bila mediumnya
mengandung konsentrasi garam yang tinggi. Air laut mengandung 3,5 persen
natrium klorida; di danau air asin, konsentrasi natrium kloridanya dapat
mencapai 25 persen. Mikroorganisme yang membutuhkan NaCl untuk pertumbuhannya
di sebut halofil obligat. Mikroba tidak akan tumbuh kecuali bila konsentrasi
garamnya tinggi, yang dapat tumbuh dalam larutan natrium kloride tetapi tidak
mensyaratkannya disebut halofil fakultatif – mereka tumbuh dalam lingkungan
berkonsentrasi garam tinggi atau rendah. Ini menunjukkan adanya tanggapan
terhadap tekanan osmotik. Telah diisolasi mikroba dari parit-parit terdalam
dilautan yang tekanan hidrostatiknya mencapai ukuran ton meter persegi.
2.1.3.
Kelembaban
Mikroorganisme mempunyai nilai
kelembaban optimum. Pada umumnya untuk pertumbuhan ragi dan mikroba diperlukan
kelembaban yang tinggi diatas 85°C, sedangkan untuk jamur dan aktinomises diperlukan
kelembaban yang rendah dibawah 80°C. Kadar air bebas didalam lautan (AW) merupakan
nilai perbandingan antara tekanan uap air larutan dengan tekanan uap air murni,
atau 1/100 dari kelembaban relatif. Nilai aw untuk mikroba pada umumnya
terletak diantara 0,90 – 0,999 sedangkan untuk mikroba halofilik mendekati
0,75. Banyak mikroorganisme yang tahan hidup didalam keadaan kering untuk waktu
yang lama seperti dalam bentuk spora, konidia, arthrospora, klamidospora dan
kista. Seperti halnya dalam pembekuan, proses pengeringan protoplasma,
menyebabkan kegiatan metaobolisme terhenti. Pengeringan secara perlahan-lahan
menyebabkan perusakan sel akibat pengaruh tekanan osmosa dan pengaruh lainnya
dengan naiknya kadar zat terlarut.
2.1.4.
Tekanan Osmosis
Pada umumnya mikrobia terhambat
pertumbuhannya di dalam larutan yang hipertonis. Karena sel-sel mikrobia dapat
mengalami plasmolisa. Didalam larutan yang hipotonis sel mengalami plasmoptisa
yang dapat di ikuti pecahnya sel. Beberapa mikrobia dapat menyesuaikan diri
terhadap tekanan osmose yang tinggi; tergantung pada larutanya dapat dibedakan
jasad osmofil dan halofil atau halodurik. Medium yang paling cocok bagi
kehidupan mikroba ialah medium yang isotonik terhadap isi sel mikroba. Jika mikroba
di tempatkan di dalam suatu larutan yang hipertonik terhadap isi sel, maka mikroba
akan mengalami plasmolisis. Larutan garam atau larutan gula yang agak pekat
mudah benar menyebabkan terjadinya plasmolisis ini. Sebaliknya, mikroba yang
ditempatkan di dalam air suling akan kemasukan air sehingga dapat menyebabkan
pecahnya mikroba, dengan kata lain, mikroba dapat mengalami plasmoptisis.
Berdasarkan inilah maka pembuatan suspense mikroba dengan menggunakan air murni
itu tidak kena, yang digunakan seharusnyalah medium cair.
Jika perubahan nilai osmosis larutan
medium tidak terjadi secara langsung, akan tetapi perlahan-lahan sebagai akibat
dari penguapan air, maka mikroba dapat menyesuaikan diri, sehingga tidak
terjadi plasmolisis secara mendadak.
2.1.5.
Senyawa toksik
Ion-ion logam berat seperti Hg, Ag,
Cu, Au, Zn, Li, dan Pb. Walaupun pada kadar sangat rendah akan bersifat toksis
terhadap mikroorganisme karena ion-ion logam berat dapat bereaksi dengan
gugusan senyawa sel. Daya bunuh logam berat pada kadar rendah disebut daya
ologodinamik. Anion seperti sulfat tartratklorida, nitrat dan benzoat
mempengaruhi kegiatan fisiologi mikroorganisme. Karena adanya perbedaan sifat
fisiologi yang besar pada masing-masing mikroorganisme maka sifat meracun dari
anion tadi juga berbeda-beda. Sifat meracun alakali juga berbeda-beda,
tergantung pada jenis logamnya. Ada beberapa senyawa asam organik seperti asam
benzoat, asetat dan sorbet dapat digunakan sebagai zat pengawet didalam
industry bahan makanan. Sifat meracun ini bukan disebabkan karena nilai pH,
tetapi merupakan akibat langsung dari molekul asam organik tersebut terhadap
gugusan didalam sel.
2.1.6.
Tegangan Muka
Tegangan muka mempengaruhi cairan
sehingga permukaan cairan itu menyerupai membran yang elastik. Demikian juga permukaan
cairan yang menyelubungi sel mikrobia. Tekanan dari membran cairan ini di
teruskan ke dalam protoplasma sel melalui dinding sel dan membran sitoplasma,
Sehingga dapat mempengaruhi kehidupan mikrobia. Kebanyakan mikroba lebih
menyukai tegangan muka yang relatif tinggi. Tetapi adapula yang hidup pada
tegangan muka yang relatif rendah. Misalnya mikroba-mikroba yang hidup dalam
saluran pencernaan. Sabun mengurangi ketegangan permukaan, dan oleh karena itu
dapat menyebabkan hancurnya mikroba. Diplococcus pneumoniae sangat peka
terhadap sabun. Empedu juga mempunyai khasiat seperti sabun; hanya mikroba yang
hidup di dalam usus mempunyai daya tahan terhadap empedu. Bolehlah dikatakan
pada umumnya, bahwa mikroba yang Gram negatif lebih tahan terhadap pengurangan
(depresi) tegangan permukaan daripada mikroba yang Gram positif.
2.1.7.
Tekanan Hidrostatik dan Mekanik
Beberapa jenis mikroorganisme dapat
hidup didalam samudra pasifik dengan tekanan lebih dari 1208 kg tiap cm
persegi, dan kelompok ini disebut barofilik. Selain itu tekanan yang tinggi
akan menyebabkan meningkatnya beberapa reaksi kimia, sedang tekanan diatas 7500
kg tiap cm persegi dapat menyebabkan denaturasi protein. Perubahan-perubahan
ini mempengaruhi proses biologi sel jasad hidup.
2.1.8.
Pengaruh Sinar
Kebanyakan mikroba tidak dapat
mengadakan fotosintesis, bahkan setiap radiasi dapat berbahaya bagi
kehidupannya. Sinar yang nampak oleh mata kita, yaitu yang bergelombang antara
390 m μ sampai 760 m μ, tidak begitu berbahaya; yang berbahaya ialah sinar yang
lebih pendek gelombangnya, yaitu yang bergelombang antara 240 m μ sampai 300 m
μ. Lampu air rasa banyak memancarkan sinar bergelombang pendek ini. Lebih
dekat, pengaruhnya lebih buruk. Dengan penyinaran pada jarak dekat sekali, mikroba
bahkan dapat mati seketika, sedang pada jarak yang agak jauh mungkin sekali
hanya pembiakannya sajalah yang terganggu. Spora-spora dan virus lebih dapat
bertahan terhadap sinar ultra-ungu. Sinar ultra-ungu biasa dipakai untuk
mensterilkan udara, air, plasma darah dan bermacam-macam bahan lainya. Suatu
kesulitan ialah bahwa mikroba atau virus itu mudah sekali ketutupan benda-benda
kecil, sehingga dapat terhindar dari pengaruh penyinaran. Alangkah baiknya,
jika kertas-kertas pembungkus makanan, ruang-ruang penyimpan daging,
ruang-ruang pertemuan, gedung-gedung bioskop dan sebagainya pada waktu-waktu
tertentu dibersihkan dengan penyinaran ultra – ungu.
2.2. Faktor Biotik Dalam Biologi
Faktor biotik ialah faktor-faktor
yang disebabkan jasad (mikrobia) atau kegiatannya yang dapat mempengaruhi
kegiatan (pertumbuhan) jasad atau mikrobia lain. Adapun faktor biologi
diantaranya :
2.2.1.
Netralisme
Netralisme adalah hubungan antara
dua populasi yang tidak saling mempengaruhi. Hal ini dapat terjadi pada
kepadatan populasi yang sangat rendah atau secara fisik dipisahkan dalam
mikrohabitat, serta populasi yang keluar dari habitat alamiahnya. Sebagai
contoh interaksi antara mikroba allocthonous (nonindigenous)
dengan mikroba autochthonous (indigenous), dan antar mikroba nonindigenous
di atmosfer yang kepadatan populasinya sangat rendah. Netralisme juga
terjadi pada keadaan mikroba tidak aktif, misal dalam keadaan kering beku, atau
fase istirahat (spora, kista).
2.2.2.
Komensalisme
Hubungan komensalisme antara dua
populasi terjadi apabila satu populasi diuntungkan tetapi populasi lain tidak
terpengaruh. Contohnya adalah:
- Mikroba Flavobacterium brevis dapat
menghasilkan ekskresi sistein. Sistein dapat digunakan oleh Legionella
pneumophila.
- Desulfovibrio mensuplai asetat dan
H2 untuk respirasi anaerobic Methanobacterium.
2.2.3.
Sinergisme
Suatu bentuk asosiasi yang
menyebabkan terjadinya suatu kemampuan untuk dapat melakukan perubahan kimia tertentu
di dalam substrat. Apabila asosiasi melibatkan 2 populasi atau lebih dalam
keperluan nutrisi bersama, maka disebut sintropisme. Sintropisme sangat penting
dalam peruraian bahan organik tanah, atau proses pembersihan air secara alami.
2.2.4.
Mutualisme (Simbiosis)
Mutualisme adalah asosiasi antara
dua populasi mikroba yang keduanya saling tergantung dan sama-sama mendapat
keuntungan. Mutualisme sering disebut juga simbiosis. Simbiosis bersifat sangat
spesifik (khusus) dan salah satu populasi anggota simbiosis tidak dapat
digantikan tempatnya oleh spesies lain yang mirip. Contohnya adalah Mikroba Rhizobium
sp. yang hidup pada bintil akar tanaman kacang-kacangan. Contoh lain adalah
Lichenes (Lichens), yang merupakan simbiosis antara algae sianomikrobaa
dengan fungi. Algae (phycobiont) sebagai produser yang dapat menggunakan
energi cahaya untuk menghasilkan senyawa organik. Senyawa organik dapat
digunakan oleh fungi (mycobiont), dan fungi memberikan bentuk
perlindungan (selubung) dan transport nutrien / mineral serta membentuk faktor
tumbuh untuk algae.
2.2.5. Kompetisi
Hubungan negatif antara 2 populasi
mikroba yang keduanya mengalami kerugian. Peristiwa ini ditandai dengan
menurunnya sel hidup dan pertumbuhannya. Kompetisi terjadi pada 2 populasi mikroba
yang menggunakan nutrien / makanan yang sama, atau dalam keadaan nutrien
terbatas. Contohnya adalah antara protozoa Paramaecium caudatum dengan Paramaecium
aurelia.
2.2.6. Amensalisme
(Antagonisme)
Satu bentuk asosiasi antar spesies
mikroba yang menyebabkan salah satu pihak dirugikan, pihak lain diuntungkan
atau tidak terpengaruh apapun. Umumnya merupakan cara untuk melindungi diri
terhadap populasi mikroba lain. Misalnya dengan menghasilkan senyawa asam,
toksin, atau antibiotika. Contohnya adalah mikroba Acetobacter yang mengubah
etanol menjadi asam asetat. Thiobacillus thiooxidans menghasilkan asam
sulfat. Asam-asam tersebut dapat menghambat pertumbuhan mikroba lain. Mikroba
amonifikasi menghasilkan ammonium yang dapat menghambat populasi Nitrobacter.
2.2.7. Parasitisme
Parasitisme terjadi antara dua
populasi, populasi satu diuntungkan (parasit) dan populasi lain dirugikan (host
/ inang). Umumnya parasitisme terjadi karena keperluan nutrisi dan bersifat
spesifik. Ukuran parasit biasanya lebih kecil dari inangnya. Terjadinya
parasitisme memerlukan kontak secara fisik maupun metabolik serta waktu kontak
yang relatif lama. Contohnya adalah mikroba Bdellovibrio yang memparasit
mikroba E. coli. Jamur Trichoderma sp. memparasit jamur Agaricus
sp.
2.2.8. Predasi
Hubungan predasi terjadi apabila
satu organisme predator memangsa atau memakan dan mencerna organisme lain
(prey). Umumnya predator berukuran lebih besar dibandingkan prey, dan
peristiwanya berlangsung cepat. Contohnya adalah Protozoa (predator) dengan mikroba
(prey). Protozoa Didinium nasutum (predator) dengan Paramaecium
caudatum (prey).
2.3. Proses Adaptasi Pertahanan Mikroorganisme
Adapun macam – macam factor adaptasi
pertahanan mikroorganisme yang lainnya yaitu :
2.3.1. Tahan terhadap kondisi
asam lambung
Pertimbangan yang sangat praktis
untuk menyeleksi isolat sebagai probiotik adalah daya tahannya sewaktu
melintasi lambung sampai mencapai organ target (usus besar). Strain harus tahan
terhadap kondisi asam karena keasaman di lambung sangat rendah. Cara yang
sering digunakan untuk uji ketahanan ini adalah dengan mengevaluasi daya
tahannya pada pH 3 selama 3 jam, waktu yang sama dengan rata-rata waktu
perlintasan melalui lambung. Meskipun beberapa strain dapat bertahan pada
perlakuan ini secara langsung, strain lainnya ternyata menunjukkan ketahanan
juga apabila mendapat perlakuan pendahuluan pada nilai pH yang lebih tinggi.
Hal ini dibuktikan dalam sebuah penelitian yang hasilnya menunjukkan bahwa
beberapa bifidobacteria, lactobacilli, dan Streptococcus salivarius
tidak dapat tumbuh langsung pada pH 3. Perlakuan mikroorganisme pada
kondisi stress yang ringan akan menginduksi ketahanan dalam mengatasi stress
tersebut, sehingga dapat menahan tingkat stress yang lebih tinggi. Oleh karena
itu isolat potensial untuk kultur probiotik tidak perlu resisten langsung
terhadap pH 3, sejauh isolat tersebut mampu mentoleransinya setelah melewati
kondisi perlakuan pada pH yang lebih tinggi.
Secara praktis, hal ini dapat
dilakukan manakala yogurt yang digunakan sebagai media pembawa probiotik, juga
berperan sebagai media pengkondisian/adaptasi dengan menyediakan kondisi asam
yang tidak terlalu ekstrim (nilai pH sekitar 4-5).
2.3.2. Faktor – factor Kimia
Yang Mempengaruhi Adaptasi Mikroorganisme
Di alam jarang mikroorganisme yang
mati akibat terkena zat-zat kimia. Hanya manusia dalam usahanya untuk
membebaskan diri dari kegiatan mikroba meramu zat-zat yang dapat meracuni
mikroorganisme, tetapi tidak meracuni dirinya sendiri atau meracuni makanan.
Zat-zat yang hanya menghambat pembiakan mikroorganisme dengan tiada membunuhnya
dinamakan zat anti septik. Dan istilah lain, disinfektan. Antiseptik dan
disinfektan dapat merupakan zat yang sama tetapi berbeda dalam cara
penggunaanya. Antiseptik dipakai terhadap jaringan hidup, sedangkan disinfektan
dipakai untuk bahan-bahan tidak bernyawa.
a. Fenol Dan Senyawa – Senyawa
Lain Yang Sejenis
Larutan fenol 2 sampai 4% berguna
bagi desinfektan. Kresol atau kreolin lebih baik khasiatnya daripada fenol.
Lisol ialah desinfektan yang berupa campuran sabun dengan kresol; lisol lebih
banyak digunakan dari pada desinfektan-desinfektan yang lain. Karbol ialah lain
untuk fenol. Seringkali orang mencampurkan bau-bauan yang sedap, sehingga
desinfektan menjadi menarik. Sebagai bentuk pertahanannya mikroba akan berusaha
bermigrasi menuju ke tempat yang tidak terkena atau mengandung sedikit alkohol.
b. Formaldehida (CH2O)
Suatu larutan formaldehida 40% biasa
disebut formalin. Desinfektan ini banyak sekali digunakan untuk membunuh mikroba,
virus, dan jamur. Formalin tidak biasa digunakan untuk jaringan tubuh manusia,
akan tetapi banyak digunakan untuk merendam bahanbahan laboratorium, alat-alat
seperti gunting, sisir dan lain-lainnya pada ahli kecantikan. Formaline bersifat
menghambat pertumbuhan mikroba. Agar mampu bertahan hidup mikroorganisme
tersebut melakukan fase istirahat (dormansi). Hal ini dilakukan sebagai
penyesuaian terhadap keadaan metabolism dan suplai oksigen yang dierlukan agar
mampu bertahan hidup.
c. Alkohol
Alkohol merupakan zat yang paling
efektif dan dapat diandalkan untuk sterilisasi dan disinfeksi. Alkohol
mendenaturasikan protein dengan jalan dehidrasi, dan juga merupakan pelarut lemak.
Oleh karena itu, membran sel – sel akan rusak, dan enzim – enzim akan
diinaktifkan oleh alkohol. Etanol murni itu kurang daya bunuhnya terhadap mikroba.
Jika dicampur dengan air murni, efeknya lebih baik. Alcohol 50 sampai 70%
banyak digunakan sebagai desinfektan. Ada 3 jenis alkohol yang dipergunakan
sebagai disinfektan, yaitu methanol ( CH3OH ), etanol (
CH3CH2OH ), dan isopropanol ((CH3 )2CHOH)).
Menurut ketentuan, semakin tinggi berat molekulnya, semakin meningkat pula daya
disinfektannya. Oleh karena itu, diantara ketiga jenis alcohol tersebut
isopropil alcohol adalah yang paling banyak digunakan. Yang banyak dipergunakan
dalam praktek adalah larutan alcohol 70 -80% dalam air. Konsentrasi diatas 90%
atau dibawah 50% biasanya kurang efektif kecuali untuk isopropyl alcohol yang
masih tetap efektif sampai konsentrasi 99%. Waktu yang diperlukan untuk
membunuh sel – sel vegetative cukup 10 menit, tetapi untuk spora tidak.
Bentuk pertahanannya dengan
menyesuaikan cairan yang ada dalam sel, sehingga metabolisme sel dan proses
enzimatik tidak terhambat. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi denaturasi
protein yang mengakibatkan kerusakan secara genetis dan fisiologi. Lingkungan
sekitar juga mempengaruhi terkait dengan suhu yang merupakan penentu optimalnya
proses metabolism didalam tubuh.
d. Yodium
Yodium tinktur, yaitu yodium yang
dilarutkan dalam alkohol, banyak digunakan orang untuk mendesinfeksikan
luka-luka kecil. Larutan 2 sampai 5% biasa dipakai. Kulit dapat terbakar
karenanya , oleh sebab itu untuk luka-luka yang agak lebar tidak digunakan
yodium-tinktur.
e. Klor Dan Senyawa Klor
Klor banyak digunakan untuk
sterilisasi air minum. Persenyawaan klor dengan kapur atau natrium merupakan
desinfektan yang banyak dipakai untuk mencuci alat-alat makan dan minum.
f. Zat Warna
Beberapa macam zat warna dapat
menghambat pertumbuhan mikroba. Pada umumnya mikroba gram positif itu lebih
peka terhadap pengaruh zat warna daripada mikroba gram negative. Hijau berlian,
hijau malakit, fuchsin basa, kristal ungu sering dicampurkan kepada medium
untuk mencegah pertumbuhanmikroba gram positif. Kristal ungu juga dipakai untuk
mendesinfeksikan luka-luka pada kulit. Dalam penggunaan zat warna perlu
diperhatikan supaya warna itu tidak sampai kena pakaian.
g. Obat Pencuci (Detergen)
Sabun biasa itu tidak banyak
khasiatnya sebagai obat pembunuh mikroba, tetapi kalau dicampur dengan
heksaklorofen daya bunuhnya menjadi besar sekali. Sejak lama obat pencuci yang
mengandung ion (detergen) banyak digunakan sebagai pengganti sabun. Detergen
bukan saja merupakan mikrobaostatik, melainkan juga merupakan mikrobasida.
Terutama mikroba yang gram positif itu peka sekali terhadapnya. Sejak 1935
banyak dipakai garam amonium yang mengandung empat bagian. Persenyawaan ini
terdiri atas garam dari suatu basa yang kuat dengan komponen-komponen. Garam
ini banyak sekali digunakan untuk sterilisasi alat-alat bedah, digunakan pula
sebagai antiseptik dalam pembedahan dan persalinan, karena zat ini tidak
merusak jaringan, lagipula tidak menyebabkan sakit. Sebagai larutan yang encer
pun zat ini dapat membunuh bangsa jamur, dapat pula beberapa genus mikroba Gram
positif maupun Gram negatif. Agaknya alkil-dimentil bensil-amonium klorida
makin lama makin banyak dipakai sebagai pencuci alat-alat makan minum di
restoran-restoran. Zat ini pada konsentrasi yang biasa dipakai tidak berbau dan
tidak berasa apa-apa.
h.
Sulfonamida
Sejak 1937 banyak digunakan
persenyawaan-persenyawaan yang mengandung belerang sebagai penghambat
pertumbuhan mikroba dan lagi pula tidak merusak jaringan manusia. Terutama
bangsa kokus seperti Streptococcus yang menggangu tenggorokan, Pneumococcus,
Gonococcus, dan Meningococcus sangat peka terhadap sulfonamida. Penggunaan
obat-obat ini, jika tidak aturan akan menimbulkan gejalagejala alergi, lagi
pula obat-obatan ini dapat menimbulkan golongan mikroba menjadi kebal
terhadapnya. Khasiat sulfonamida itu terganggu oleh asam-p-aminobenzoat.
Asam-p-aminobenzoat memegang peranan sebagai pembantu enzim-enzim pernapasan,
dalam hal itu dapat terjadi persaingan antara sulfanilamide dan
asam-paminobenzoat. Sering terjadi, bahwa mikroba yang diambil dari darah atau
cairan tubuh orang yang habis diobati dengan sulfanilamide itu tidak dapat
dipiara di dalam medium biasa. Baru setelah dibubuhkan sedikit
asam-p-aminobenzoat ke dalam medium tersebut, mikroba dapat tumbuh biasa.
i. Antibiotik
Antibiotik yang pertama dikenal
ialah pinisilin, yaitu suatu zat yang dihasilkan oleh jamur Pinicillium. Pinisilin
di temukan oleh Fleming dalam tahun 1929, namun baru sejak 1943 antibiotik ini
banyak digunakan sebagai pembunuh mikroba. Selama Perang Dunia Kedua dan
sesudahnya bermacam-macam antibiotik diketemukan, dan pada dewasa ini jumlahnya
ratusan. Genus Streptomyces menghasilkan streptomisin, aureomisin,
kloromisetin, teramisin, eritromisin, magnamisin yang masing-masing mempunyai
khasiat yang berlainan. Akhir-akhir ini orang telah dapat membuat kloromisetin
secara sintetik, obat-obatan ini terkenal sebagai kloramfenikol. Diharapkan
antibiotik-antibiotik yang lain pun dapat dibuat secara sintetik pula.
Ada yang kita kenal beberapa
antibiotik yang dapat dihasilkan oleh golongan jamur, melainkan oleh golongan mikroba
sendiri, misalnya tirotrisin dihasilkan oleh Bacillus brevis, basitrasin
oleh Bacillus subtilis, polimiksin oleh Bacillus polymyxa.Antibiotik
yang efektif bagi banyak spesies mikroba, baik kokus, basil, maupun spiril,
dikatakan mempunyai spektrum luas. Sebaliknya, suatu antibiotik yang
hanya efektif untuk spesies tertentu, disebut antibiotik yang spektrumnya
sempit. Pinisilin hanya efektif untuk membrantas terutama jenis kokus, oleh
karena itu pinisilin dikatakan mempunyai spektrum yang sempit. Tetrasiklin
efektif bagi kokus, basil dan jenis spiril tertentu, oleh karena itu
tetrasiklin dikatakan mempunyai spektrum luas. Sebelum suatu antibiotik
digunakan untuk keperluan pengobatan, maka perlulah terlebih dahulu antibiotik
itu diuji efeknya terhadap spesies mikroba tertentu.
j. Garam – Garam Logam
Garam dari beberapa logam berat
seperti air raksa dan perak dalam jumlah yang kecil saja dapat menumbuhnkan mikroba,
daya mana disebut oligodinamik. Hal ini mudah sekali dipertunjukkan
dengan suatu eksperimen.
Garam dari logam berat itu mudah
merusak kulit, maka alat-alat yang terbuat dari logam, dan lagi pula mahal
harganya. Meskipun demikian orang masih bisa menggunakan merkuroklorida
(sublimat) sebagai desinfektan. Hanya untuk tubuh manusia lazimnya kita pakai
merkurokrom, metafen atau mertiolat. ONa HgOH SHgCH2. CH3 CH3 NO3 COONa metafen
mertiolat.
Persenyawaan air rasa yang organik
dapat pula dipergunakan untuk membersihkan biji – bijian supaya terhindar dari
gangguan bangsa jamur. Nitrat perak 1 sampai 2% banyak digunakan untuk menetesi
selaput lendir, misalnya pada mata bayi yang baru lahir untuk mencegah
gonorhoea. Banyak juga orang mempergunakan persenyawaan perak dengan protein.
Garam tembaga jarang dipakai sebagai mikrobasida, akan tetapi banyak digunakan
untuk menyemprot tanaman dan untuk mematikan tumbuhan ganggang di kolam-kolam
renang.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan
dengan uraian pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor - faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan mikroba yaitu :
-
Faktor abiotik yang terdiri dari suhu, pH, kelembaban, tekanan
osmosis, senyawa toksik, tegangan muka, tekanan hidrostatik dan mekanik,
pengaruh sinar.
-
Faktor biotik dalam biologi yang terdiri dari
netralisme, komensalisme, sinergisme, mutualisme (simbiosis), kompetisi
,amensalisme (antagonisme), parasitisme, predasi
3.2. Saran
Kegiatan
mikroorganisme dalam lingkungan sekitar kita tidak dapat dikendalikan apabila selaku
individu manusia belum menerapkan pola hidup bersih dan sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2010. Faktor Tekanan
Osmosis Pada mikrobiologi . (Online). (http://hubjid.blogspot.com/2006/10/14/faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-mikroba/) Diakses Tanggal 25 Juni 2012.
Anonymous. 2010. Faktor yang
Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba. (Online). (http://rachdie.blogspot.com/2006/10/14/faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-mikroba/) Diakses Tanggal 25 Juni 2012.
Budiyanto, Agus Krisno. 2010. Hand
Out-5 Faktor Lingkungan Yang mempengaruhi Mikroba. UMM: Malang
Dwijoseputro. 1995. Dasar-dasar
Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan
Jawetz. 2001. Mikrobiologi
Kedokteran. Salemba Medika. Jakarta.
Schlegel, Hans. 1994. Mikrobiologi
Umum Edisi Keenam. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Stanier, Roger. dkk. 1982. Dunia
Mikroba 1. Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Suriawiria U. 1995. Pengantar
Mikrobiologi Umum. Bandung: Angkasa.
Waluyo, Lud. 2005. Mikrobiologi
Umum. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Prees.