Selasa, 13 Januari 2015

FAKTOR PENDUKUNG LINGKUNGAN BAKTERI

BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Semua makhluk hidup sangat bergantung pada lingkungan sekitar, demikian juga jasat renik. Makhluk – makhluk ini tidak dapat sepenuhnya menguasai factor – faktor lingkungan, sehingga untuk hidupnya sangat bergantung kepada lingkungan sekitar. Satu – satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari faktor lingkungan adalah dengan cara menyesuaikan diri (adaptasi) kepada pengaruh faktor dari luar. Penyesuaian mikroorganisme terhadap faktor lingkungan dapat terjadi secara cepat dan ada yang bersifat sementara, tetapi ada juga perubahan itu bersifat permanen sehingga mempengaruhi bentuk morfologi serta sifat-sifat fisiologi secara turun Temurun.
Kehidupan mikroba tidak hanya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, akan tetapi juga mempengaruhi keadaan lingkungan. Misalnya, mikroba termogenesis menimbulkan panas di dalam medium tempat tumbuhnya. Beberapa mikroba dapat pula mengubah pH dari medium tempat hidupnya, perubahan ini dinamakan perubahan secara kimia.
Aktivitas mikroba dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungannya. Perubahan lingkungan dapat mengakibatkan perubahan sifat morfologi dan fisiologi mikroba. Beberapa kelompok mikroba sangat resisten terhadap perubahan faktor lingkungan. Mikroba tersebut dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan kondisi baru tersebut. Faktor lingkungan meliputi faktor-faktor abiotik (fisika dan kimia), dan faktor biotik

1.2. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.         Selaku mahasiswa, kita dapat mengetahui tentang faktor - faktor lingkungan yang berperan dalam kehidupan mikroba dan adaptasi mikroba terhadap kehidupan organisme.
2.         Guna memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah “Mikrobiologi Perikanan”.
Manfaat dari penulisan ini adalah  agar mahasiswa dapat memahami dengan baik tentang faktor lingkungan mikroba.
BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Faktor Abiotik
2.1.1. Suhu
Masing-masing mikrobia memerlukan suhu tertentu untuk hidupnya. Suhu pertumbuhan suatu mikrobia dapat di bedakan dalam suhu minimum, optimum dan maksimum. Berdasarkan atas perbedaan suhu pertumbuhannya dapat di bedakan mikrobia yang psikhrofil, mesofil, dan termofil. Untuk tujuan tertentu suatu mikrobia perlu di tentukan titik kematian termal (thermal death point) dan waktu kematian termal (thermal death time) nya.
Daya tahan terhadap suhu itu tidak sama bagi tiap-tiap spesies. Ada spesies yang mati setelah mengalami pemanasan beberapa menit di dalam cairan medium pada suhu 60°C, sebaliknya, mikroba yang membentuk spora seperti genus Bacillus dan Clostridium itu tetap hidup setelah di panasi dengan uap 100°C atau lebih selama kira-kira setengah jam. Untuk sterilisali, maka syaratnya untuk membunuh setiap spesies untuk membunuh setiap spesies mikroba ialah pemanasan selama 15 menit dengan tekanan 15 pound serta suhu 121°C di dalam autoklaf.
Dalam cara menentukan daya tahan panas suatu spesies perlu di perhatikan syarat-syarat sebagai berikut:
1.     Berapa tinggi suhu.
2.     Berapa lama spesies itu berada di dalam suhu tersebut.
3.     Apakah pemanasan mikroba itu dilakukan di dalam keadaan kering ataukah di dalam keadaan basah.
4.     Beberapa pH dari medium tempat mikroba itu di panasi.
5.     Sifat-sifat lain dari medium tempat mikroba itu di panasi.
Di dalam keadaan basah, maka protein dari mikroba lebih cepat menggumpal dari pada di dalam keadaan kering, pada temperartur yang sama. Berdasarkan ini, maka sterilisasi barang-barang gelas di dalam oven kering itu memerlukan suhu yang lebih tinggi daripada 121° C dan waktu yang lebih lama dari pada 15 menit. Sedikit perubahan pH menuju ke asam atau ke basa itu sangat berpengaruh kepada pemanasan. Berhubung dengan ini, maka buah-buahan yang masam itu lebih mudah disterilisasikan dari pada sayur-sayur atau daging.
Untuk menentukan suhu maut bagi mikroba orang mengambil pedoman sebagai berikut: Suhu maut (thermal death point) ialah suhu yang serendah-rendahnya yang dapat membunuh mikroba yang berada di dalam standard medium selama 10 menit. Ketentuan ini mencakup kelima syarat-syarat tersebut diatas. Perlu diperhatikan kiranya, bahwa tidak semua individu dari suatu spesies itu mati bersama-sama pada suatu suhu tertentu. Biasanya, individu yang satu lebih tahan dari pada individu yang lain terhadap suatu pemanasan, sehingga tepat juga, bila kita katakana adanya angka kematian pada suatu suhu (Thermal Death Rate). Sebaliknya jika suatu standard suhu sudah ditentukan seperti pada perusahaan pengawetan makanan atau dalam perusahaan susu, maka lamanya pemanasan merupakan faktor yang berbeda-beda bagi tiap-tiap   dapatlah kita adakan penentuan waktu maut (thermal death rate). Biasanya standar suhu itu diatas titik didih dan pemanasan setinggi ini perlu bagi pemusnahan mikroba yang berspora. Umumnya mikroba lebih tahan suhu rendah dari pada suhu tinggi. Hanya beberapa spesies neiseria mati karena pendinginan sampai 0° C dalam kedaan basah. Mikroba patogen yang bias hidup di dalam tubuh hewan atau manusia dapat bertahan sampai beberapa bulan pada suhu titik beku.
Pembekuan itu sebenarnya tidak berpengaruh kepada spora, karena spora sangat sedikit mengandung air. Pembekuan mikroba di dalam air lebih cepat membunuh mikroba daripada kalau pembekuan itu di dalam buih-buih tidak membeku sekeras air beku. Bahwa pembekuan air itu menyebabkan kerusakan mekanik pada mikroba mudahlah dimaklumi, tentang efek yang lain misalnya secara kimia, kita belum tahu. Pembekuan secara perlahan-lahan dalam suhu -16°C ( es campur garam ) lebih efektif dari pada pembekuan secara mendadak dalam udara beku (-190° C ). Juga pembekuan secara terputus-putus ternyata lebih efektif dari pada pembekuan secara terusmenerus. Sebagai contoh, piaraan basil tipus mati setelah dibekukan putus-putus dalam waktu 2 jam, sedang piaraan itu dapat bertahan beberapa minggu dalam keadaan beku terus-menerus.
Mengenai pengaruh suhu terhadap kegiatan fisiologi, maka seperti halnya dengan mahluk-mahluk lain, mikrooganisme pun dapat bertahan di dalam suatu batas-batas suhu tertentu. Batas-batas itu ialah suhu minimum dan suhu maksimum, sedang suhu yang paling baik bagi kegiatan hidup itu disebut suhu optimum. Berdasarkan itu adalah tiga golongan mikroba, yaitu:
1.     Mikroba termofil (politermik), yaitu mikroba yang tumbuh dengan baik sekali pada suhu setinggi 55° sampai 65°C, meskipun mikroba ini juga dapat berbiak pada suhu lebih rendah atau lebih tinggi dari pada itu, yaitu dengan batas-batas 40°C sampai 80°C. Golongan ini terutama terdapat didalam sumber air panas dan tempat-tempat lain yang bersuhu lebih tinggi dari 55°C.
2.     Mikroba mesofil (mesotermik), yaitu mikroba yang hidup baik di antara 5° dan 60°C, sedang suhu optimumnya ialah antara 25° sampai 40°C, minimum 15°C dan maksimum di sekitar 55°C. Umumnya hidup di dalam alat pencernaan, kadang-kadang ada juga yang dapat hidup dengan baik pada suhu 40°C atau lebih.
3.     Mikroba psikrofil (oligotermik), yaitu mikroba yang dapat hidup di antara 0° sampai 30°C, sedang suhu optimumnya antara 10° sampai 20°C. Kebanyakan dari golongan ini tumbuh di tempat-tempat dingin baik di daratan ataupun di lautan.
Pada tahun 1967 di Yellowstone Park di temukan mikroba yang hidup dalam air yang panasnya 93 – 94 °C dan pada tahun 1969 berapa spesies lagi di tempat yang sama yang juga sangat termofil. Spesies-spesies itu di tabiskan menjadi Thermus aquaticus, Bacillus caldolyticus, dan Bacillus caldotenax. Dalam praktek, batas-batas antara golongan-golongan itu sukar ditentukan, juga di antara beberapa individu di dalam satu golongan pun batas-batas suhu optimum itu sangat berbeda-beda. Mikroba termofil agak menyulitkan pekerjaan pasteurisasi, karena pemanasan pada pasteurisasi itu hanya sekitar 70 °C saja, sedang pada suhu setinggi itu spora-spora tidak mati. Spora mikroba termofil juga merepotkan perusahaan pengawetan makanan. Selama bahan makanan di dalam kaleng itu di simpan pada suhu yang rendah, spora-spora tidak akan tumbuh menjadi mikroba. Akan tetapi, jika suhu sampai naik sedikit, besarlah bahaya akan rusaknya makanan itu sebagai akibat dari pertumbuhan spora-spora tersebut. Sebaliknya, mikroba psikrofil dapat mengganggu makanan yang di simpan terlalu lama di dalam lemari es. Golongan mikroba yang dapat hidup pada bata-batas suhu yang sempit, misalnya, Conococcus itu hanya dapat hidup subur antara 30° dan 40°C, jadi batas antara minimum dan maksimum tidak terlampau besar, maka mikroba semacam itu kita sebut stenotermik. Sebaliknya Escherichia coli tumbuh baik antara 8 °C sampai 46 °C, jadi beda antara minimum dan maksimum suhu di sini ada lebih besar daripada yang di sebut di atas, maka Escherichia coli itu termasuk golongan mikroba yang kita sebut euritermik. Pada umumnya dapat di pastikan, bahwa suhu optimum itu lebih mendekati suhu maksimum daripada suhu minimum.Hal ini nyata benar bagi Gonococcus dan Escherichia coli, keduanya mempunyai optimum suhu 37 °C. Mikroba yang dipiara di bawah suhu minimum atau sedikit di atas suhu maksimum itu tidak segera mati, melainkan berada di dalam keadaan “tidur” (dormancy). Suhu berpengaruh terhadap kinerja reaksi dalam mikroorganisme. Pada suhu rendah, semua protein mengalami sedikit perubahan bentuk, yang dianggap berasal dari melemahnya ikatan hidrofobik yang memegang peran penting dalam penentuan struktur tartier (berdimensi tiga). Semua tipe ikatan lain pada protein menjadi lebih kuat bila suhu diturunkan. Pentingnya bentuk yang tepat untuk fungsi sebenarnya protein alosterik dan untuk perakitan sendiri protein ribosomal menjadi kedua kelas protein ini teramat peka terhadap inaktivasi dingin. Oleh karen aitu, tidaklah mengherankan bahwa mutasi yang menaikkan suhu minimum untuk pertumbuhan biasanya terjadi di dalam gen yang menyandikan protein-protein ini.
Susunan lipid pada hampir semua organisme, baik prokariota maupun eukariota, berubah-ubah menurut suhu tumbuh. Bila suhu turun, kandungan relatif asam lemak tidak jenuh didalam lipid selular meningkat. Ilustrasi kejadian ini pada E. coli tampak pada perubahan dalam susunan lemak ini adalah komponen penting daripada adaptasi suhu pada mikroba. Titik cair lipid berhubungan langsung dengan asam lemak jenuh. Akibatnya, derajat kejenuhan asam lemak pada lipid membran menentukan derajat keadaan cairnya pada suhu tertentu. Karena fungsi membran bergantung pada keadaan cair komponen lipid, dapatlah dipahami bahwa pertumbuhan pada suhu rendah haruslah diikuti dengan penambahan derajat ketidakjenuhan asam lemak.

2.1.2. pH
Mikrobia dapat tumbuh baik pada daerah pH tertentu, misalnya untuk mikroba pada pH 6,5 – 7,5; khamir pada pH 4,0 – 4,5 sedangkan jamur dan aktinomisetes pada daerah pH yang luas. Setiap mikrobia mempunyai pH minimum, optimum dan maksimum untuk pertumbuhanya. Berdasarkan atas perbedaan daerah pH untuk pertumbuhanya dapat dibedakan mikrobia yang asidofil, mesofil (neutrofil) dan alkalofil. Untuk menahan perubahan dalam medium sering ditambahkan larutan bufer. pH optimum pertumbuhan bagi kebanyakan mikroba antara 6,5 dan 7,5. Namun beberapa spesies dapat tumbuh dalam keaadaan sangat masam atau sangat alkalin, bila mikroba di kultivasi di dalam suatu medium yang mula-mula disesuaikan pH-nya misal 7 maka mungkin pH ini akan berubah sebagai akibat adanya senyawa-senyawa asam atau basa yang dihasilkan selama pertumbuhannya. Pergesaran pH ini dapat sedemikian besar sehingga mengahambat pertumbuhan seterusnya organisme itu. Pergeseran pH dapat dapat dicegah dengan menggunakan larutan penyangga dalam medium, larutan penyangga adalah senyawa atau pasangan senyawa yang dapat menahan perubahan pH.

Tabel 1.  pH minimum, optimum, dan maksimum untuk pertumbuhan beberapa spesies mikroba

Mikroba
Kisaran Ph Untuk Pertumbuhan
Batas Bawah
Optimum
Batas Atas
Thiobacillus
0,5
2,0-3,5
6,0
Thiooxidans
4,0-4,5
5,4-6,3
7,0-8,0
Acetobacter aceti
4,2
7,0-7,5
9,3
Staphylococcus aureus
5,5
7,0-7,5
8,5
Azotobacter spp
6,0
6,8
7,0
Clhorobium limicola
6,0
7,5 – 7,8
9,5


Atas dasar daerah-daerah pH bagi kehidupan mikroorganisme dibedakan menjadi 3 golongan besar yaitu:
-      Mikroorganisme yang asidofilik, yaitu jasad yang dapat tumbuh pada pH antara 2,0-5,0
-      Mikroorganisme yang mesofilik (neutrofilik), yaitu jasad yang dapat tumbuh pada pH antara 5,5-8,0
-      Mikroorganisme yang alkalifilik, yaitu jasad yang dapat tumbuh pada pH antara 8,4-9,5
Suhu, lingkungan, gas dan pH adalah faktor-faktor fisik utama yang harus dipertimbangkan di dalam penyediaan kondisi optimum bagi pertumbuhan kebanyakan spesies mikroba. Beberapa kelompok mikroba mempunyai persyaratan tambahan. Sebagai contoh, organisme fotoautotrofik (fotosintetik) harus diberi sumber pencahayaan, karena cahaya adalah sumber energinya. Pertumbuhan mikroba dapat dipengaruhi oleh keadaan tekanan osmotik (tenaga atau tegangan yang terhimpun ketika air berdifusi melalui suatu membran) atau tekanan hidrostatik (tegangan zat alir). Mikroba tertentu, yang disebut mikroba halofilik dan dijumpai di air asin, wadah berisi garam, makanan yang diasin, air laut, dan danau air asin, hanya tumbuh bila mediumnya mengandung konsentrasi garam yang tinggi. Air laut mengandung 3,5 persen natrium klorida; di danau air asin, konsentrasi natrium kloridanya dapat mencapai 25 persen. Mikroorganisme yang membutuhkan NaCl untuk pertumbuhannya di sebut halofil obligat. Mikroba tidak akan tumbuh kecuali bila konsentrasi garamnya tinggi, yang dapat tumbuh dalam larutan natrium kloride tetapi tidak mensyaratkannya disebut halofil fakultatif – mereka tumbuh dalam lingkungan berkonsentrasi garam tinggi atau rendah. Ini menunjukkan adanya tanggapan terhadap tekanan osmotik. Telah diisolasi mikroba dari parit-parit terdalam dilautan yang tekanan hidrostatiknya mencapai ukuran ton meter persegi.

2.1.3.  Kelembaban
Mikroorganisme mempunyai nilai kelembaban optimum. Pada umumnya untuk pertumbuhan ragi dan mikroba diperlukan kelembaban yang tinggi diatas 85°C, sedangkan untuk jamur dan aktinomises diperlukan kelembaban yang rendah dibawah 80°C. Kadar air bebas didalam lautan (AW) merupakan nilai perbandingan antara tekanan uap air larutan dengan tekanan uap air murni, atau 1/100 dari kelembaban relatif. Nilai aw untuk mikroba pada umumnya terletak diantara 0,90 – 0,999 sedangkan untuk mikroba halofilik mendekati 0,75. Banyak mikroorganisme yang tahan hidup didalam keadaan kering untuk waktu yang lama seperti dalam bentuk spora, konidia, arthrospora, klamidospora dan kista. Seperti halnya dalam pembekuan, proses pengeringan protoplasma, menyebabkan kegiatan metaobolisme terhenti. Pengeringan secara perlahan-lahan menyebabkan perusakan sel akibat pengaruh tekanan osmosa dan pengaruh lainnya dengan naiknya kadar zat terlarut.

2.1.4.  Tekanan Osmosis
Pada umumnya mikrobia terhambat pertumbuhannya di dalam larutan yang hipertonis. Karena sel-sel mikrobia dapat mengalami plasmolisa. Didalam larutan yang hipotonis sel mengalami plasmoptisa yang dapat di ikuti pecahnya sel. Beberapa mikrobia dapat menyesuaikan diri terhadap tekanan osmose yang tinggi; tergantung pada larutanya dapat dibedakan jasad osmofil dan halofil atau halodurik. Medium yang paling cocok bagi kehidupan mikroba ialah medium yang isotonik terhadap isi sel mikroba. Jika mikroba di tempatkan di dalam suatu larutan yang hipertonik terhadap isi sel, maka mikroba akan mengalami plasmolisis. Larutan garam atau larutan gula yang agak pekat mudah benar menyebabkan terjadinya plasmolisis ini. Sebaliknya, mikroba yang ditempatkan di dalam air suling akan kemasukan air sehingga dapat menyebabkan pecahnya mikroba, dengan kata lain, mikroba dapat mengalami plasmoptisis. Berdasarkan inilah maka pembuatan suspense mikroba dengan menggunakan air murni itu tidak kena, yang digunakan seharusnyalah medium cair.
Jika perubahan nilai osmosis larutan medium tidak terjadi secara langsung, akan tetapi perlahan-lahan sebagai akibat dari penguapan air, maka mikroba dapat menyesuaikan diri, sehingga tidak terjadi plasmolisis secara mendadak.

2.1.5.  Senyawa toksik
Ion-ion logam berat seperti Hg, Ag, Cu, Au, Zn, Li, dan Pb. Walaupun pada kadar sangat rendah akan bersifat toksis terhadap mikroorganisme karena ion-ion logam berat dapat bereaksi dengan gugusan senyawa sel. Daya bunuh logam berat pada kadar rendah disebut daya ologodinamik. Anion seperti sulfat tartratklorida, nitrat dan benzoat mempengaruhi kegiatan fisiologi mikroorganisme. Karena adanya perbedaan sifat fisiologi yang besar pada masing-masing mikroorganisme maka sifat meracun dari anion tadi juga berbeda-beda. Sifat meracun alakali juga berbeda-beda, tergantung pada jenis logamnya. Ada beberapa senyawa asam organik seperti asam benzoat, asetat dan sorbet dapat digunakan sebagai zat pengawet didalam industry bahan makanan. Sifat meracun ini bukan disebabkan karena nilai pH, tetapi merupakan akibat langsung dari molekul asam organik tersebut terhadap gugusan didalam sel.

2.1.6.  Tegangan Muka
Tegangan muka mempengaruhi cairan sehingga permukaan cairan itu menyerupai membran yang elastik. Demikian juga permukaan cairan yang menyelubungi sel mikrobia. Tekanan dari membran cairan ini di teruskan ke dalam protoplasma sel melalui dinding sel dan membran sitoplasma, Sehingga dapat mempengaruhi kehidupan mikrobia. Kebanyakan mikroba lebih menyukai tegangan muka yang relatif tinggi. Tetapi adapula yang hidup pada tegangan muka yang relatif rendah. Misalnya mikroba-mikroba yang hidup dalam saluran pencernaan. Sabun mengurangi ketegangan permukaan, dan oleh karena itu dapat menyebabkan hancurnya mikroba. Diplococcus pneumoniae sangat peka terhadap sabun. Empedu juga mempunyai khasiat seperti sabun; hanya mikroba yang hidup di dalam usus mempunyai daya tahan terhadap empedu. Bolehlah dikatakan pada umumnya, bahwa mikroba yang Gram negatif lebih tahan terhadap pengurangan (depresi) tegangan permukaan daripada mikroba yang Gram positif.

2.1.7. Tekanan Hidrostatik dan Mekanik
Beberapa jenis mikroorganisme dapat hidup didalam samudra pasifik dengan tekanan lebih dari 1208 kg tiap cm persegi, dan kelompok ini disebut barofilik. Selain itu tekanan yang tinggi akan menyebabkan meningkatnya beberapa reaksi kimia, sedang tekanan diatas 7500 kg tiap cm persegi dapat menyebabkan denaturasi protein. Perubahan-perubahan ini mempengaruhi proses biologi sel jasad hidup.

2.1.8.  Pengaruh Sinar
Kebanyakan mikroba tidak dapat mengadakan fotosintesis, bahkan setiap radiasi dapat berbahaya bagi kehidupannya. Sinar yang nampak oleh mata kita, yaitu yang bergelombang antara 390 m μ sampai 760 m μ, tidak begitu berbahaya; yang berbahaya ialah sinar yang lebih pendek gelombangnya, yaitu yang bergelombang antara 240 m μ sampai 300 m μ. Lampu air rasa banyak memancarkan sinar bergelombang pendek ini. Lebih dekat, pengaruhnya lebih buruk. Dengan penyinaran pada jarak dekat sekali, mikroba bahkan dapat mati seketika, sedang pada jarak yang agak jauh mungkin sekali hanya pembiakannya sajalah yang terganggu. Spora-spora dan virus lebih dapat bertahan terhadap sinar ultra-ungu. Sinar ultra-ungu biasa dipakai untuk mensterilkan udara, air, plasma darah dan bermacam-macam bahan lainya. Suatu kesulitan ialah bahwa mikroba atau virus itu mudah sekali ketutupan benda-benda kecil, sehingga dapat terhindar dari pengaruh penyinaran. Alangkah baiknya, jika kertas-kertas pembungkus makanan, ruang-ruang penyimpan daging, ruang-ruang pertemuan, gedung-gedung bioskop dan sebagainya pada waktu-waktu tertentu dibersihkan dengan penyinaran ultra – ungu.

2.2. Faktor Biotik Dalam Biologi
Faktor biotik ialah faktor-faktor yang disebabkan jasad (mikrobia) atau kegiatannya yang dapat mempengaruhi kegiatan (pertumbuhan) jasad atau mikrobia lain. Adapun faktor biologi diantaranya :

2.2.1. Netralisme
Netralisme adalah hubungan antara dua populasi yang tidak saling mempengaruhi. Hal ini dapat terjadi pada kepadatan populasi yang sangat rendah atau secara fisik dipisahkan dalam mikrohabitat, serta populasi yang keluar dari habitat alamiahnya. Sebagai contoh interaksi antara mikroba allocthonous (nonindigenous) dengan mikroba autochthonous (indigenous), dan antar mikroba nonindigenous di atmosfer yang kepadatan populasinya sangat rendah. Netralisme juga terjadi pada keadaan mikroba tidak aktif, misal dalam keadaan kering beku, atau fase istirahat (spora, kista).

2.2.2.  Komensalisme
Hubungan komensalisme antara dua populasi terjadi apabila satu populasi diuntungkan tetapi populasi lain tidak terpengaruh. Contohnya adalah:
-   Mikroba Flavobacterium brevis dapat menghasilkan ekskresi sistein. Sistein dapat digunakan oleh Legionella pneumophila.
-   Desulfovibrio mensuplai asetat dan H2 untuk respirasi anaerobic Methanobacterium.


2.2.3. Sinergisme
Suatu bentuk asosiasi yang menyebabkan terjadinya suatu kemampuan untuk dapat melakukan perubahan kimia tertentu di dalam substrat. Apabila asosiasi melibatkan 2 populasi atau lebih dalam keperluan nutrisi bersama, maka disebut sintropisme. Sintropisme sangat penting dalam peruraian bahan organik tanah, atau proses pembersihan air secara alami.

2.2.4. Mutualisme (Simbiosis)
Mutualisme adalah asosiasi antara dua populasi mikroba yang keduanya saling tergantung dan sama-sama mendapat keuntungan. Mutualisme sering disebut juga simbiosis. Simbiosis bersifat sangat spesifik (khusus) dan salah satu populasi anggota simbiosis tidak dapat digantikan tempatnya oleh spesies lain yang mirip. Contohnya adalah Mikroba Rhizobium sp. yang hidup pada bintil akar tanaman kacang-kacangan. Contoh lain adalah Lichenes (Lichens), yang merupakan simbiosis antara algae sianomikrobaa dengan fungi. Algae (phycobiont) sebagai produser yang dapat menggunakan energi cahaya untuk menghasilkan senyawa organik. Senyawa organik dapat digunakan oleh fungi (mycobiont), dan fungi memberikan bentuk perlindungan (selubung) dan transport nutrien / mineral serta membentuk faktor tumbuh untuk algae.

2.2.5. Kompetisi
Hubungan negatif antara 2 populasi mikroba yang keduanya mengalami kerugian. Peristiwa ini ditandai dengan menurunnya sel hidup dan pertumbuhannya. Kompetisi terjadi pada 2 populasi mikroba yang menggunakan nutrien / makanan yang sama, atau dalam keadaan nutrien terbatas. Contohnya adalah antara protozoa Paramaecium caudatum dengan Paramaecium aurelia.

2.2.6. Amensalisme (Antagonisme)
Satu bentuk asosiasi antar spesies mikroba yang menyebabkan salah satu pihak dirugikan, pihak lain diuntungkan atau tidak terpengaruh apapun. Umumnya merupakan cara untuk melindungi diri terhadap populasi mikroba lain. Misalnya dengan menghasilkan senyawa asam, toksin, atau antibiotika. Contohnya adalah mikroba Acetobacter yang mengubah etanol menjadi asam asetat. Thiobacillus thiooxidans menghasilkan asam sulfat. Asam-asam tersebut dapat menghambat pertumbuhan mikroba lain. Mikroba amonifikasi menghasilkan ammonium yang dapat menghambat populasi Nitrobacter.

2.2.7. Parasitisme
Parasitisme terjadi antara dua populasi, populasi satu diuntungkan (parasit) dan populasi lain dirugikan (host / inang). Umumnya parasitisme terjadi karena keperluan nutrisi dan bersifat spesifik. Ukuran parasit biasanya lebih kecil dari inangnya. Terjadinya parasitisme memerlukan kontak secara fisik maupun metabolik serta waktu kontak yang relatif lama. Contohnya adalah mikroba Bdellovibrio yang memparasit mikroba E. coli. Jamur Trichoderma sp. memparasit jamur Agaricus sp.

2.2.8. Predasi
Hubungan predasi terjadi apabila satu organisme predator memangsa atau memakan dan mencerna organisme lain (prey). Umumnya predator berukuran lebih besar dibandingkan prey, dan peristiwanya berlangsung cepat. Contohnya adalah Protozoa (predator) dengan mikroba (prey). Protozoa Didinium nasutum (predator) dengan Paramaecium caudatum (prey).

 2.3. Proses Adaptasi Pertahanan Mikroorganisme
Adapun macam – macam factor adaptasi pertahanan mikroorganisme yang lainnya yaitu :
2.3.1. Tahan terhadap kondisi asam lambung
Pertimbangan yang sangat praktis untuk menyeleksi isolat sebagai probiotik adalah daya tahannya sewaktu melintasi lambung sampai mencapai organ target (usus besar). Strain harus tahan terhadap kondisi asam karena keasaman di lambung sangat rendah. Cara yang sering digunakan untuk uji ketahanan ini adalah dengan mengevaluasi daya tahannya pada pH 3 selama 3 jam, waktu yang sama dengan rata-rata waktu perlintasan melalui lambung. Meskipun beberapa strain dapat bertahan pada perlakuan ini secara langsung, strain lainnya ternyata menunjukkan ketahanan juga apabila mendapat perlakuan pendahuluan pada nilai pH yang lebih tinggi. Hal ini dibuktikan dalam sebuah penelitian yang hasilnya menunjukkan bahwa beberapa bifidobacteria, lactobacilli, dan Streptococcus salivarius tidak dapat tumbuh  langsung pada pH 3. Perlakuan mikroorganisme pada kondisi stress yang ringan akan menginduksi ketahanan dalam mengatasi stress tersebut, sehingga dapat menahan tingkat stress yang lebih tinggi. Oleh karena itu isolat potensial untuk kultur probiotik tidak perlu resisten langsung terhadap pH 3, sejauh isolat tersebut mampu mentoleransinya setelah melewati kondisi perlakuan pada pH yang lebih tinggi.
Secara praktis, hal ini dapat dilakukan manakala yogurt yang digunakan sebagai media pembawa probiotik, juga berperan sebagai media pengkondisian/adaptasi dengan menyediakan kondisi asam yang tidak terlalu ekstrim (nilai pH sekitar 4-5).

2.3.2. Faktor – factor  Kimia Yang Mempengaruhi Adaptasi Mikroorganisme
Di alam jarang mikroorganisme yang mati akibat terkena zat-zat kimia. Hanya manusia dalam usahanya untuk membebaskan diri dari kegiatan mikroba meramu zat-zat yang dapat meracuni mikroorganisme, tetapi tidak meracuni dirinya sendiri atau meracuni makanan. Zat-zat yang hanya menghambat pembiakan mikroorganisme dengan tiada membunuhnya dinamakan zat anti septik. Dan istilah lain, disinfektan. Antiseptik dan disinfektan dapat merupakan zat yang sama tetapi berbeda dalam cara penggunaanya. Antiseptik dipakai terhadap jaringan hidup, sedangkan disinfektan dipakai untuk bahan-bahan tidak bernyawa.

a. Fenol Dan Senyawa – Senyawa Lain Yang Sejenis
Larutan fenol 2 sampai 4% berguna bagi desinfektan. Kresol atau kreolin lebih baik khasiatnya daripada fenol. Lisol ialah desinfektan yang berupa campuran sabun dengan kresol; lisol lebih banyak digunakan dari pada desinfektan-desinfektan yang lain. Karbol ialah lain untuk fenol. Seringkali orang mencampurkan bau-bauan yang sedap, sehingga desinfektan menjadi menarik. Sebagai bentuk pertahanannya mikroba akan berusaha bermigrasi menuju ke tempat yang tidak terkena atau mengandung sedikit alkohol.

b. Formaldehida (CH2O)
Suatu larutan formaldehida 40% biasa disebut formalin. Desinfektan ini banyak sekali digunakan untuk membunuh mikroba, virus, dan jamur. Formalin tidak biasa digunakan untuk jaringan tubuh manusia, akan tetapi banyak digunakan untuk merendam bahanbahan laboratorium, alat-alat seperti gunting, sisir dan lain-lainnya pada ahli kecantikan. Formaline bersifat menghambat pertumbuhan mikroba. Agar mampu bertahan hidup mikroorganisme tersebut melakukan fase istirahat (dormansi). Hal ini dilakukan sebagai penyesuaian terhadap keadaan metabolism dan suplai oksigen yang dierlukan agar mampu bertahan hidup.

c. Alkohol
Alkohol merupakan zat yang paling efektif dan dapat diandalkan untuk sterilisasi dan disinfeksi. Alkohol mendenaturasikan protein dengan jalan dehidrasi, dan juga merupakan pelarut lemak. Oleh karena itu, membran sel – sel akan rusak, dan enzim – enzim akan diinaktifkan oleh alkohol. Etanol murni itu kurang daya bunuhnya terhadap mikroba. Jika dicampur dengan air murni, efeknya lebih baik. Alcohol 50 sampai 70% banyak digunakan sebagai desinfektan. Ada 3 jenis alkohol yang dipergunakan sebagai disinfektan, yaitu methanol ( CH3OH ), etanol  ( CH3CH2OH ), dan isopropanol ((CH3 )2CHOH)). Menurut ketentuan, semakin tinggi berat molekulnya, semakin meningkat pula daya disinfektannya. Oleh karena itu, diantara ketiga jenis alcohol tersebut isopropil alcohol adalah yang paling banyak digunakan. Yang banyak dipergunakan dalam praktek adalah larutan alcohol 70 -80% dalam air. Konsentrasi diatas 90% atau dibawah 50% biasanya kurang efektif kecuali untuk isopropyl alcohol yang masih tetap efektif sampai konsentrasi 99%. Waktu yang diperlukan untuk membunuh sel – sel vegetative cukup 10 menit, tetapi untuk spora tidak.
Bentuk pertahanannya dengan menyesuaikan cairan yang ada dalam sel, sehingga metabolisme sel dan proses enzimatik tidak terhambat. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi denaturasi protein yang mengakibatkan kerusakan secara genetis dan fisiologi. Lingkungan sekitar juga mempengaruhi terkait dengan suhu yang merupakan penentu optimalnya proses metabolism didalam tubuh.

d. Yodium
Yodium tinktur, yaitu yodium yang dilarutkan dalam alkohol, banyak digunakan orang untuk mendesinfeksikan luka-luka kecil. Larutan 2 sampai 5% biasa dipakai. Kulit dapat terbakar karenanya , oleh sebab itu untuk luka-luka yang agak lebar tidak digunakan yodium-tinktur.

e. Klor Dan Senyawa Klor
Klor banyak digunakan untuk sterilisasi air minum. Persenyawaan klor dengan kapur atau natrium merupakan desinfektan yang banyak dipakai untuk mencuci alat-alat makan dan minum.

f. Zat Warna
Beberapa macam zat warna dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Pada umumnya mikroba gram positif itu lebih peka terhadap pengaruh zat warna daripada mikroba gram negative. Hijau berlian, hijau malakit, fuchsin basa, kristal ungu sering dicampurkan kepada medium untuk mencegah pertumbuhanmikroba gram positif. Kristal ungu juga dipakai untuk mendesinfeksikan luka-luka pada kulit. Dalam penggunaan zat warna perlu diperhatikan supaya warna itu tidak sampai kena pakaian.

g. Obat Pencuci (Detergen)
Sabun biasa itu tidak banyak khasiatnya sebagai obat pembunuh mikroba, tetapi kalau dicampur dengan heksaklorofen daya bunuhnya menjadi besar sekali. Sejak lama obat pencuci yang mengandung ion (detergen) banyak digunakan sebagai pengganti sabun. Detergen bukan saja merupakan mikrobaostatik, melainkan juga merupakan mikrobasida. Terutama mikroba yang gram positif itu peka sekali terhadapnya. Sejak 1935 banyak dipakai garam amonium yang mengandung empat bagian. Persenyawaan ini terdiri atas garam dari suatu basa yang kuat dengan komponen-komponen. Garam ini banyak sekali digunakan untuk sterilisasi alat-alat bedah, digunakan pula sebagai antiseptik dalam pembedahan dan persalinan, karena zat ini tidak merusak jaringan, lagipula tidak menyebabkan sakit. Sebagai larutan yang encer pun zat ini dapat membunuh bangsa jamur, dapat pula beberapa genus mikroba Gram positif maupun Gram negatif. Agaknya alkil-dimentil bensil-amonium klorida makin lama makin banyak dipakai sebagai pencuci alat-alat makan minum di restoran-restoran. Zat ini pada konsentrasi yang biasa dipakai tidak berbau dan tidak berasa apa-apa.
h.  Sulfonamida
Sejak 1937 banyak digunakan persenyawaan-persenyawaan yang mengandung belerang sebagai penghambat pertumbuhan mikroba dan lagi pula tidak merusak jaringan manusia. Terutama bangsa kokus seperti Streptococcus yang menggangu tenggorokan, Pneumococcus, Gonococcus, dan Meningococcus sangat peka terhadap sulfonamida. Penggunaan obat-obat ini, jika tidak aturan akan menimbulkan gejalagejala alergi, lagi pula obat-obatan ini dapat menimbulkan golongan mikroba menjadi kebal terhadapnya. Khasiat sulfonamida itu terganggu oleh asam-p-aminobenzoat. Asam-p-aminobenzoat memegang peranan sebagai pembantu enzim-enzim pernapasan, dalam hal itu dapat terjadi persaingan antara sulfanilamide dan asam-paminobenzoat. Sering terjadi, bahwa mikroba yang diambil dari darah atau cairan tubuh orang yang habis diobati dengan sulfanilamide itu tidak dapat dipiara di dalam medium biasa. Baru setelah dibubuhkan sedikit asam-p-aminobenzoat ke dalam medium tersebut, mikroba dapat tumbuh biasa.

i. Antibiotik
Antibiotik yang pertama dikenal ialah pinisilin, yaitu suatu zat yang dihasilkan oleh jamur Pinicillium. Pinisilin di temukan oleh Fleming dalam tahun 1929, namun baru sejak 1943 antibiotik ini banyak digunakan sebagai pembunuh mikroba. Selama Perang Dunia Kedua dan sesudahnya bermacam-macam antibiotik diketemukan, dan pada dewasa ini jumlahnya ratusan. Genus Streptomyces menghasilkan streptomisin, aureomisin, kloromisetin, teramisin, eritromisin, magnamisin yang masing-masing mempunyai khasiat yang berlainan. Akhir-akhir ini orang telah dapat membuat kloromisetin secara sintetik, obat-obatan ini terkenal sebagai kloramfenikol. Diharapkan antibiotik-antibiotik yang lain pun dapat dibuat secara sintetik pula.
Ada yang kita kenal beberapa antibiotik yang dapat dihasilkan oleh golongan jamur, melainkan oleh golongan mikroba sendiri, misalnya tirotrisin dihasilkan oleh Bacillus brevis, basitrasin oleh Bacillus subtilis, polimiksin oleh Bacillus polymyxa.Antibiotik yang efektif bagi banyak spesies mikroba, baik kokus, basil, maupun spiril, dikatakan mempunyai spektrum luas. Sebaliknya, suatu antibiotik yang hanya efektif untuk spesies tertentu, disebut antibiotik yang spektrumnya sempit. Pinisilin hanya efektif untuk membrantas terutama jenis kokus, oleh karena itu pinisilin dikatakan mempunyai spektrum yang sempit. Tetrasiklin efektif bagi kokus, basil dan jenis spiril tertentu, oleh karena itu tetrasiklin dikatakan mempunyai spektrum luas. Sebelum suatu antibiotik digunakan untuk keperluan pengobatan, maka perlulah terlebih dahulu antibiotik itu diuji efeknya terhadap spesies mikroba tertentu.

j. Garam – Garam Logam
Garam dari beberapa logam berat seperti air raksa dan perak dalam jumlah yang kecil saja dapat menumbuhnkan mikroba, daya mana disebut oligodinamik. Hal ini mudah sekali dipertunjukkan dengan suatu eksperimen.
Garam dari logam berat itu mudah merusak kulit, maka alat-alat yang terbuat dari logam, dan lagi pula mahal harganya. Meskipun demikian orang masih bisa menggunakan merkuroklorida (sublimat) sebagai desinfektan. Hanya untuk tubuh manusia lazimnya kita pakai merkurokrom, metafen atau mertiolat. ONa HgOH SHgCH2. CH3 CH3 NO3 COONa metafen mertiolat.
Persenyawaan air rasa yang organik dapat pula dipergunakan untuk membersihkan biji – bijian supaya terhindar dari gangguan bangsa jamur. Nitrat perak 1 sampai 2% banyak digunakan untuk menetesi selaput lendir, misalnya pada mata bayi yang baru lahir untuk mencegah gonorhoea. Banyak juga orang mempergunakan persenyawaan perak dengan protein. Garam tembaga jarang dipakai sebagai mikrobasida, akan tetapi banyak digunakan untuk menyemprot tanaman dan untuk mematikan tumbuhan ganggang di kolam-kolam renang.










BAB III
PENUTUP


3.1. Kesimpulan
Berdasarkan dengan uraian pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor - faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan mikroba yaitu :
-        Faktor abiotik yang terdiri dari suhu, pH, kelembaban, tekanan osmosis, senyawa toksik, tegangan muka, tekanan hidrostatik dan mekanik, pengaruh sinar.
-        Faktor biotik dalam biologi yang terdiri dari netralisme, komensalisme, sinergisme, mutualisme (simbiosis), kompetisi ,amensalisme (antagonisme), parasitisme, predasi

3.2. Saran
Kegiatan mikroorganisme dalam lingkungan sekitar kita tidak dapat dikendalikan apabila selaku individu manusia belum menerapkan pola hidup bersih dan sehat.



DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2010. Faktor Tekanan Osmosis Pada mikrobiologi . (Online). (http://hubjid.blogspot.com/2006/10/14/faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-mikroba/) Diakses Tanggal 25 Juni 2012.
Anonymous. 2010. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba. (Online). (http://rachdie.blogspot.com/2006/10/14/faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-mikroba/) Diakses Tanggal 25 Juni 2012.
Budiyanto, Agus Krisno. 2010. Hand Out-5 Faktor Lingkungan Yang mempengaruhi Mikroba. UMM: Malang
Dwijoseputro. 1995. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan
Jawetz. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Salemba Medika. Jakarta.
Schlegel, Hans. 1994. Mikrobiologi Umum Edisi Keenam. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Stanier, Roger. dkk. 1982. Dunia Mikroba 1. Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Suriawiria U. 1995. Pengantar Mikrobiologi Umum. Bandung: Angkasa.
Waluyo, Lud. 2005. Mikrobiologi Umum. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Prees.